Warisan Kinclong Sjamsul-Itjih

Leave a Comment
Pada 4 April 1998 status bank milik Sjamsul Nursalim, BDNI ditetapkan sebagai bank take over (BTO). Baru kemudian, pada Agustus 1998, statusnya menjadi bank beku operasi (BBO).

Sebelum dilakukan era pengucuran BLBI ke BDNI senilai Rp37,039 triliun, ditengarai melalui BDNI, Sjamsul Nursalim melakukan berbagai upaya penggerusan dana masyarakat melalui berbagai transaksi ganjil terkait transper pencairan dana kredit senilai US$607,5 juta. Uang sebanyak itu ditransper melalui BDNI cabang Kepulauan Cook dan Cayman ke 10 perusahaan keluarga Sjamsul Nursalim di Singapura, Hongkong, dan Taiwan.

Nah, setelah BDNI menerima kucuran dana BLBI, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) langsung melakukan audit. Hasil audit itu menemukan adanya potensi kerugian negara dengan indikasi korupsi yang dilakukan Sjamsul Nursalim senilai Rp25,1 triliun. Kerugian negara dari akibat menyimpangnya dana BLBI itu, secara rinci tertangkap dalam 13 kasus.

Dari gambaran hasil pelacakan tersebut, setidaknya ada dua hal yang patut mendapat perhatian aparat penegak hukum. Mulai dari Kejaksaan Agung, KPK, hingga ke Mahkamah Agung.Pertama, sebelum BDNI menjadi BBO, di bank milik Sjamsul Nursalim ini telah terjadi pelanggaran berat terhadap BMPK. Nilainya mencapai US$607,5 juta. Kedua, setelah BLBI diterima BDNI, dana tersebut disalurkan tidak sesuai dengan peruntukan yang dimaksdukan oleh pemerintah. Nilainya Rp25,1 triliun.

Penggunaan dana BLBI dan tindakan menggerus dana masyarakat melalui penyaluran kridit untuk grup sendiri, jelas-jelas melanggar ketentuan tentang BMPK. Jadi kedua tindakan ini merupakan bentuk tindakan melawan hukum.

Bentuk penyaluran dana masyarakat yang tersimpan di BDNI dengan melanggar BMPK dan cara penyaluran dana BLBI yang tidak sesuai aturan hukum, sepantasnya dimata Kejaksaan merupakan bentuk tindak pidana korupsi. Namun, hingga berita ini diturunkan, tak satupun aparat penegak hukum di Indonesia mampu memulangkan seorang Sjamsul Nursalim dan Itjih Nursalim ke Indonesia guna mempertanggungjawabkan perbuatannya melalui BDNI. Bahkan, kondisi yang ada menjadi terbalik-balik.

Nah, kini Sjamsul dan Itjih Nursalim memang sudah tak ada di Indonesia. Pasangan suami istri ini bermukim di Singapura. Pilihan keduanya untuk menetap di Singapura memang sungguh tepat. Pasalnya pemerintah Indonesia belum sah memiliki perjanjian ekstradisi dengan Singapura. Walaupun sudah diteken, namun terhambat oleh gerakan politik di DPR, sehingga tidak bisa di implementasikan.

Seiring munculnya kasus dugaan suap Artalita Suryani alias Ayin yang dikenal menjadi orang dekat Sjamsul Nursalim, kepada Jaksa Urip Tri Gunawan -- Ketua Tim Jaksa yang menangani kasus BLBI Sjamsul Nursalim, mata rantai bisnis keluarga Sjamsul Nursalim di Indonesia, kembali mendapat perhatian luas.

Aparat penegak hukum, seperti Kejaksaan Agung (Kejagung), Komisi Pembrantasan Korupsi (KPK) dan Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia (Mabes Polri), hingga beberapa tokoh muda di DPR RI. Gerakan yang paling konkrit adalah berasal dari LSM Maki yang mempraperadilankan SP3 Sjamsul Nursalim.

Kemana ujung larinya dana kredit yang melanggar BMPK disalurkan? Kemana saja dana BLBI yang disalahgunakan? Apa saja "Warisan" bisnis Sjamsul-Itjih Nursalim di Indonesia? Bagaimana nasib Gajah Tunggal Grup?

Semua masih dalam penelusuran serius. Nah, salah satu bisnis "warisan" keluarga Sjamsul- Itjih Nursalim di Indonesia, adalah PT. Mitra Adi Perkasa, Tbk (MAP).

Seperti apa ceritanya? Sebelum menjadi perusahaan terbuka, pada 29 Oktober 2004, PT. Mitra Adi Perkasa (MAP) yang didirikan pada 23 Januari 1995 dimiliki oleh keluarga Gozali. Kepemilikan saham dipegang oleh Marisa Kolonas, Muljadi Gozali, Sarkawi, Benny Gozali dan Sintia Kolonas, yang masing-masing memegang 20% saham. Para pemegang saham ini memiliki hubungan dekat dengan Sjamsul dan Itjih.

Baru pada tahun 1996 MAP dibeli habis oleh PT Panen Lestari Internusa yang kepemilikannya sebagian besar dipegang oleh Sjamsul Nursalim dan Itjih Nursalim (Ingat, BDNI dibekukan pada Agustus 1998. Sebelum dibekukan ada dugaan pelanggaran BMPK)

Dalam perjalanannya, pada tahun 2001, tangan Sjamsul Nursalim, memecah kepemilikan MAP. PT Aghadana Sentosa memegang 16 % saham dan PT Satya Mulia Gema Gemilang (SMGG) menjadi pemilik 84% saham.

Setahun kemudian, tepatnya tahun 2002, dinasti Gozali kembali merapat di MAP. Saham PT Arghadana Sentosa dijual kepada F.X. Boyke Gozali.

Ditengah iklim tekanan terhadap Sjamsul Nursalim akibat kasus BLBI yang merontokkan kerajaan Gajah Tunggal, rangkaian bagi membagi dan pecah memecah saham di MAP giat dilakukan.

Melalui akta jual-beli saham No. 61 tanggal 13 Agustus 2004 yang dibuat di hadapan Eliwaty Tjitra, SH, Notaris di Jakarta. Trah Gozali, Boyke Gozali selaku pemilik 40 ribu lembar saham, menjual dan menyerahkan sahamnya kepada PT Map Primier Indonesia (MPI). Selebihnya, tetap tetap dimiliki SMGG.

Dalam rangkaian gonta-ganti baju ini, yang menarik lagi, Boyke Gozali yang menyerahkan atau menjual sahamnya di MAP pada tahun 2004 itu, ternyata sejak tahun 2003, Boyke Gozali sudah ngendon menjadi Direktur Utama MPI. Jadi, sebelum dijual ke MPI, Boyke sudah menyiapkan perusahaan ini untuk menampung saham yang digelontorkan dari MAP.

Sebelum menjabat sebagai Wakil Presiden Komisaris Perseroan sejak tahun 2004 hingga tahun 2008, diketahui juga bahwa Boyke Gozali sejak tahun 2001 menjadi Presiden Direktur PT.MAP. Artinya, dalam waktu itu juga, keponakan Sjamsul Nursalim ini juga merangkap sebagai Direktur Utama MPI, pemegang saham MAP. Termasuk, pernah menjabat sebagai Direktur Utama PT.SMGG, pemegang saham MAP lainnya.

Sementara dalam jajaran Komisaris dan Direksi PT.Mitra Adiperkasa, Tbk, selain Matheus Rukmasaleh Arif (Ake Arif) dan Boyke Gozali, keduanya keponakan Sjamsul-Itjih, juga tercatat personal-personal, yang sebelumnya memang berada dalam lingkaran kerajaan bisnis Sjamsul Nursalim di Indonesia. Tentunya sebelum konglomerat ini kabur dari Indonesia.

Sebut saja, misalnya, Juliani Gozali, sejak tahun 2003, menjabat sebagai Direktur Utama di PT Panen Lestari Internusa (pembeli PT.MAP) Selain itu, sejak tahun 2000 hingga tahun 2004 menjabat sebagai Direktur di PT Dipasena Citra Darmaja. Sebelumnya bekerja di PT Indonesia Prima Property Tbk antara tahun 1999 hingga tahun 2002 dengan jabatan terakhir sebagai Presiden Direktur. Pada tahun 1973 sampai 1985, menjadi Senior General Manager di PT Gajah Tunggal Tbk.

Sementara Kentjana Indriawati, sejak tahun 1990, sebagai Komisaris PT Panen Lestari Internusa (pembeli PT.MAP). Karirnya dimulai di PT Gajah Tunggal pada tahun 1984 dengan jabatan terakhir sebagai General Manager.

Begitu juga dengan Sjeniwati Gusman, sebelumnya berkarir di PT Dipasena Citra Darmaja dari tahun 1993 hingga tahun 2003 dengan jabatan terakhir sebagai General Manager Internal Audit.

Tak ketinggalan Indrawana Widjaja, memulai kerjanya di PT Bank Dagang Nasional Indonesia Tbk pada tahun 1988 sampai dengan tahun 1998 dengan jabatan terakhir sebagai Branch Manager Kantor Pusat Operasional.

Bak meteor jatuh dari langit. Dalam tempo singkat, "warisan" Sjamsul-Itjih ini melesat menjadi raksasa ritel produk dan jasa premium di Indonesia.Gerai/Outletnya berserakan mulai dari Jakarta, Bandung, Surabaya, Bali, Medan, Makasar, Batam, hingga di Menado.

Pengusaha sejati memang harus selalu bermata jeli. Dalam situasi dan kondisi seburuk apa pun, ia harus sigap membaca sekaligus menubruk peluang. Racikan-racikan jitu dalam menyusun skenario legal perusahaan, tentu termasuk yang harus dipikirkan. Buka tutup, gonta ganti baju, merupakan salah satu siasat yang harus dikembangkan, apalagi ditengah tekanan dan soroton publik.

Nah, guna menghindari bau Sjamsul Nursalim, pekerjaan gonta ganti baju secara legal di MAP, merupakan pekerjaan rutin yang dilakukan. Dalam Laporan Keuangan MAP Juni 2006, kendaraan awal Sjamsul Nursalim dan Itjih Nursalim masih tercatat PT Panen Lestari Internusa (PLI) sebagai pemegang saham langsung sebesar 99,00 %. Sementara satu persen berupa kepemilikan tidak langsung melalui PT Premier Capital Investment (PCI).

Pada laporan tahunan MAP tahun 2006 " 2005, pemegang sahamnya tercatat PT. Satya Mulia Gema Gumilang (SMGG) sebesar 51,3 persen. Sisanya, yang enam persen dipegang MPI dan sebesar 42,7 persen dipegang masyarakat.

Sementara dalam laporan tahun berikutnya, (2007 " 2006), komposisi kepemilikan saham di MAP kembali berubah secara drastis. Adalah pendatang baru, yakni PT.Mandiri Sekuritas Repo/Reverse Repo Ind-L yang menggerus saham SMGG dan MPI. Mandiri memiliki sebesar 34,75 persen. Sementara SMGG yang semula memiliki 51,3 persen menciut jadi 16,83 persen. Dan saham MPI pun berkurang, menjadi hanya 5,74 persen. Sementara kepemilikan masyarakat juga berkurang menjadi 42,6 persen.

Disinikah, dana kredit yang melanggar BMPK dan dana BLBI yang diselewengkan penyalurannya berkembang biak? Tentu harus dibuktikan,lagi-lagi harus berdasarkan hukum. Tidak boleh menduga-duga dan berprasangka. (Simak Bagian 3..Bersih-bersih....)
(Hasanuddin)
Next PostPosting Lebih Baru Previous PostPosting Lama Beranda

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.