Kemana Larinya BLBI Sjamsul Nursalim?

Leave a Comment
Pasangan Sjamsul Nursalim dan Itjih Nursalim (SI) -- disebut sebagian masyarakat sebagai konglomerat hitam,bisa jadi tersenyum mencibir dari negeri seberang, Singapura. Mengapa? Bisa jadi karena melihat berbagai langkah masyarakat dan aparat penegak hukum di Indonesia yang ingin mengusik-usik masalah Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang tergerus melalui bank milik mereka, Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI).

Rangkaian terusiknya kasus BLBI SI, diawali dengan tertangkapnya Ketua Tim Jaksa "BLBI Sjamsul Nursalim" Urip Tri Gunawan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atas tuduhan menerima suap dari Artalita Suryani alias Ayin, salah satu orang kepercayaan SI di Indonesia senilai US$ 660.000.

Kemudian, sejak Senin (28/4) di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, soal Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) terhadap Sjamsul Nursalim yang dikeluarkan Kejaksaan Agung pada 13 Juli 2004, kembali digugat.

Adalah LSM Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (Maki) dari Solo yang mempraperadilankan SP3 yang diterima Sjamsul Nursalim. Maki meminta pengadilan untuk membatalkan SP3 Sjamsul, sekaligus meminta agar Kejaksaan membuka kembali kasus BLBI Sjamsul.

Masyarakat mengetahui, SP3 Sjamsul Nursalim yang dikeluarkan pada era Jaksa Agung MA Rachman terbit berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2002 yang diteken Presiden Megawati Soekarnoputri.

Menurut Boyamin Saiman, koordinator Maki, Inpres tentang surat keterangan lunas (SKL) adalah keputusan eksekutif yang tidak dapat dijadikan pedoman penghentian penyidikan. "Penghentian penyidikan atas perkara ini tidak sah dan tidak berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku, sehingga harus dibatalkan," ungkap Boyamin.

Bakal seperti apa, dua kasus yang melibatkan "bau" Sjamsul Nursalim ke depan? Tentu tergantung keteguhan iman jajaran KPK dan Hakim di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Tak ketinggalan kekuatan iman LSM Maki yang mempraperadilankan SP3 Sjamsul Nursalim juga turut dicoba. Kenapa?

Walaupun tidak tidak pernah menyambangi Indonesia, sejak diberi izin berobat ke Jepang beberapa tahun lalu, bukan berarti "kaki tangan" SI tak ada di Indonesia. Bisa jadi cukup banyak bergentayangan di negeri ini. Merekalah yang bermain untuk mewakili kepentingan pasangan SI di Indonesia.

Kepiawaian "kakitangan" SI sudah terbukti cukup akurat. Bahkan, belakangan, berdasarkan keterangan yang dihimpun bandarlampungnews.com dan politikindonesia.com, seorang jurnalis dibuat gontai ketika berhadapan dengan "kakitangan" SI.

Menurut keterangan yang diperoleh dari penelusuran itu, "kaki tangan" SI di Indonesia memiliki berbagai peran. Mulai dari yang mengelola bisnis, hingga para pe-lobbies yang membantunya untuk meredam berbagai masalah yang timbul akibat kasus Ayin dan kasus yang menyoal SP3 Sjamsul Nursalim. Termasuk yang mengurusi media massa. "Walaupun bisnis mereka jelas-jelas "warisan" pasangan SI, mereka tidak mau dikait-kaitkan dengan SI," ujar sumber itu.

Sebelum hengkang dari Indonesia, mesin bisnis pasangan SI, selain yang diserahkan melalui Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), memang cukup banyak. Ada yang melaju kencang, ada juga yang ditahan-tahan larinya sembari menunggu situasi pemerintahan yang berpihak kepada mereka.

Sebut saja, salah satu "warisan" SI yang kinclong adalah PT.Mitra Adi Perkasa"yang menjadi perusahaan terbuka, pada 29 Oktober 2004. Perusahaan ini dibeli SI pada tahun 1996 melalui instrument legal PT Panen Lestari Internusa (PLI) yang merupakan penjelmaan dari PT.Sogo Lestari Indonesia.

Ketika itu, PT.PLI kepemilikannya sebagian besar dipegang langsung oleh Sjamsul Nursalim (3000 saham senilai Rp3 miliar) dan Itjih Nursalim (3000 saham senilai Rp3 miliar). Selain itu, saham PLI juga dimiliki Abdul Somad Basri (1500 saham senilai Rp1,5 miliar), Gustimego (3000 saham senilai Rp3 miliar), Husni Ali, keponakan Sjamsul (1500 saham senilai Rp1,5 miliar), dan Johan Setiawan (3000 saham senilai Rp3 miliar).

Alamat yang digunakan pasangan SI, sama persis dengan alamat rumah yang diakui Artalita Suryani menjadi milik pribadinya, ketika kasus suap Jaksa Urip terungkap oleh KPK.

Berapa besar dugaan duit rakyat yang digondol Sjamsul Nursalim melalui Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) di BDNI?

Ketika itu, dan sudah menjadi pengetahuan public, data audit investagasi Badan Pemeriksa Keungan (BPK) dan kantor auditor independen yang sudah terpublikasi luas menyebutkan, dari dana BLBI Rp37,039 triliun yang diterima Sjamsul Nursalim melalui BDNI pada 1999, sebesar 60 persen atau Rp25,1 triliun diduga diselewengkan. Artinya, audit tersebut menemukan penyimpangan yang berindikasi tindak pidana korupsi (TPK) sebesar Rp25,1 triliun.

Tentu, bila BLBI yang diterima melalui BDNI dibandingkan dengan uang dugaan suap 660.000 dolar AS yang diberikan Ayin kepada Urip, tak berarti apa-apa. Pihak mana yang pantas disalahkan dalam kasus Sjamsul Nursalim? Entahlah.

Setidaknya, Ketua BPK Anwar Nasution menilai, penyelesaian kasus BLBI, sejauh ini sebagai upaya menyelematkan para obligor. "Itu tidak hanya menyelamatkan uang negara, tapi juga menyelamatkan tauke-tauke," ujar Anwar Nasution, di Jakarta, Rabu (3/4).

Menurut Anwar Nasution, kaburnya sejumlah obligor nakal BLBI ke Singapura merupakan kesalahan para aparat hukum di Indonesia. "Konglomerat lari ke Singapura kok Singapura yang disalahkan. Yang kasih mereka tinggalkan Indonesia siapa? Aparat kita kan. Jangan cari kambing hitam," ujar Anwar Nasution.

Seperti diketahui, ketika itu Tim investigasi BPPN menemukan sejumlah pelanggaran kucuran kredit BDNI sebesar US$ 607 juta ke perusahaan afiliasi di luar negeri.

Pada dokumen yang diberi judul " Lampiran Laporan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) ke Kejaksaan Agung mengenai PT Bank Dagang Nasional Indonesia, isinya menyangkut berbagai indikasi pelanggaran kredit oleh BDNI milik Sjamsul Nursalim, sebelum dibekukan pada Agustus 1998.

Pelanggaran menyangkut pengucuran kredit triliunan rupiah ke berbagai perusahaan afiliasi di dalam dan luar negeri di luar Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK).

Khusus yang ke luar negeri, dilacak oleh tim forensik audit BPPN bersama lembaga investigasi internasional, Business Fraud Solutions (BFS), yang dikontrak pada 13 Agustus 1998.

Dari pelacakan sebulan penuh, BFS menemukan sejumlah transaksi ganjil
terkait transfer dana pencairan kredit US$ 607,5 juta (sekitar Rp 5,5 triliun) melalui BDNI cabang Kepulauan Cook dan Cayman ke 10 perusahaan Nursalim di Singapura, Hong Kong, dan Taiwan.

Dana sebesar US$ 386,5 juta dicairkan dalam 21 kali pengiriman ke rekening East Asia America Capital di Chase Manhattan Bank, New York, Amerika Serikat. Sisanya ditransfer ke lima bank lain di Singapura dan Taipei, sebelum akhirnya seluruh dana itu parkir di 10 perusahaan tersebut.

Dari penelitian, diduga sebagian akad kredit fiktif. Indikasinya, 17 dari 39 total transfer melanggar prosedur: persetujuan dan perjanjian kredit baru dibuat setelah dana ditransfer.

Proposal kredit disiapkan Laurensia Sally Lawu sebagai Kepala BDNI Cabang Cook Islands dan Cayman Islands. Kredit disetujui Sjamsul dan Husni Ali, keponakan Itjih Nursalim-istri Sjamsul. Pencairan ditangani Michelle Liem, putri tertua Sjamsul, bersama Lim Min Lin, orang dekat keluarga dan bekas guru anak-anaknya.

Ternyata East Asia dan berbagai perusahaan itu terkait keluarga Sjamsul. Sebanyak 80 persen saham East Asia dimiliki Ban Hin Leong Co. Ltd. Sisanya milik Michelle dan Wai Hop Co. Ltd.

Meski data terbaru menyebutkan Ban Hin Leong milik Ng Oi Wan (90 persen) dan Chan Sau Mei (10 persen), hingga November 1997-saat dana ditransfer-perusahaan ini masih dikuasai penuh Sjamsul dan Itjih. Keduanya direktur di East Asia. Sjamsul, Itjih, Michelle, dan adiknya, Cherie Nursalim, juga pemilik banyak perusahaan penerima kredit itu.

Dari setumpuk bukti itu, sulit dimungkiri aliran kredit pada akhirnya berujung pada keluarga Sjamsul Nursalim sendiri.

Nah setelah soal pelanggaran BMPK, pada 14 Februari 1998, BDNI masuk program penyehatan perbankan.

Lantas, Bank Indonesia (BI) menyerahkan BDNI kepada Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Kemudian, pada 4 April 1998, status BDNI ditetapkan sebagai bank take over (BTO). Pada Agustus 1998, statusnya dinaikkan menjadi bank beku operasi (BBO).

Pada tahun yang sama, untuk membayar semua utang Sjamsul Nursalim sebagai pemilik BDNI, BPPN merancang pembayaran utang lewat master settlement and acquisition agreement (MSAA/perjanjian penyelesaian utang dengan jaminan aset).

Pada saat pendirian PT Tunas (perusahaan yang dibentuk bersama BPPN) langsung dinyatakan memiliki utang kepada BPPN sejumlah utang yang perlu diselesaikan oleh BDNI. Utang itu disebut dengan settlement amount (utang yang jumlahnya ditentukan melalui kerangka MSAA). Pada 21 Agustus 1998, settlement amount (utang) BDNI kepada pemerintah ditetapkan sejumlah Rp28,4 triliun.

Akibat status BDNI sudah BBO, tetapi ada dana nasabah yang harus diselematkan, maka dimulailah era penyuntikan dana BLBI ke BDNI senilai Rp37,039 triliun. Jelasnya, kasus pelanggaran BMPK yang dilakukan BDNI dan penggerusan BLBI merupakan dua kasus yang berbeda.

Ketika BDNI menerima dana BLBI senilai Rp37,039 triliun pada 29 Januari 1999, dana tersebut masing-masing untuk pos fasilitas Surat Berharga Pasar Uang Khusus (SBPUK) Rp9,755 triliun, fasilitas saldo debet Rp20,928 triliun, saldo debet Rp1,617 triliun dan dana talangan valuta asing milik BDNI Rp4,39 triliun.

Nah, setelah BDNI menerima BLBI, BPK langsung melakukan audit. Hasil audit BPK menyebutkan ada potensi kerugian negara dengan indikasi korupsi yang dilakukan Sjamsul Nursalim. Potensi kerugian negara senilai Rp25,1 triliun.

Kerugian negara dari dana BLBI itu, dirinci dalam 13 kasus. Pertama, BDNI mencairkan giro dan deposito milik grup terkait sebesar Rp248,59 miliar.

Kedua, BDNI membayar talangan atas transaksi netting SWAP antar bank dengan PT Bank Bali Tbk. yang terlambat didaftarkan ke BI namun tetap dibayarkan oleh BI sebesar Rp904,64 miliar (ini terjadi pada kasus PT Bank Bali Tbk.). Ketiga, transaksi pembelian valas sebesar Rp9,22 triliun yang dilakukan pada saat posisi devisa netto telah melampaui ketentuan yang berlaku.

Keempat, pembayaran transaksi valas yang diteruskan ke American Express Bank yang jatuh tempo pada 11 Juni 1998 sebesar Rp17,86 miliar.

Kelima, placement (penempatan) baru dengan menggunakan/menambah saldo debet sebesar Rp1,45 miliar dan USD271,383,378.25 yang ekuivalen dengan Rp2,43 triliun. Keenam, placement baru pada PT Bank Bali, Tbk. dan PT BIP dengan menggunakan saldo debet masing-masing sebesar Rp563 miliar dan Rp45 miliar.

Ketujuh, pembayaran utang letter of credit (L/C) atau SKBDN (Surat Kredit Berdokumen Dalam Negeri) grup terkait pada saat saldo giro bank di BI telah merah sebesar Rp44,80 miliar.

Kedelapan, pembayaran dana talangan kepada kreditur luar negeri untuk menutupi kewajiban nasabah grup/terkait sebesar Rp2,74 triliun. Kesembilan, pembayaran dari debitur untuk melunasi kewajiban kepada kreditur luar negeri tidak diteruskan oleh bank dan bahkan kewajiban ini dilaporkan default agar dapat ditalangi oleh BI sebesar Rp145,90 miliar.

Kesepuluh, pemberian kredit valas melalui cabang Cayman Island dan Cook Island kepada debitur luar negeri sebesar USD 182.529.875 ekuivalen Rp669,88 miliar.

Kesebelas, pemberian kredit rupiah (IDR) kepada grup terkait yang dananya digunakan untuk transaksi di Pasar Uang Antar Bank (PUAB) sebesar Rp4,99 triliun.

Keduabelas, pembelian/pembangunan aktiva/bangunan baru pada periode Oktober s.d Desember 1997 sebesar Rp3,65 miliar. Dan Ketigabelas, pembayaran hutang Banker Acceptances untuk kepentingan bank dan nasabah grup dengan dana talangan dari BI, sebesar USD 213.314.388,16 atau ekuivalen Rp1,91 triliun.

Atas semua kelakukan itu, (hanya untuk dana BLBI. Bukan pelanggaran BMPK) Sjamsul Nursalim menyerahkan aset yang dinilai sebesar Rp27,4 triliun. Masing-masing , aset GT Petrochem (Rp 7,53 triliun), PT Tire dan Dipasena Darma Citra Darmaja (senilai Rp 19,9 triliun). Namun laporan Tim Bantuan Hukum BPPN pada 2002 menunjukkan bahwa nilai riil Dipasena hanya Rp5,2 triliun.

Pertanyaannya, kemana larinya dana sekitar Rp 25 trliun? Mantan Direktur Hukum BPPN, Robertus Bilitea mengatakan, kasus BLBI memang harus bisa dibuka lagi dan terus diselesaikan secara hukum. Meski, Sjamsul Nursalim telah menyerahkan asetnya, tapi, tindak pidana yang dilakukan Nursalim telah terjadi dan harus terus diusut. ""Ibaratnya, ada pencuri yang telah mengembalikan hasil curiannya, masa pencurinya tidak ditangkap,"" ujarnya.

Menurut Robertus, sebenarnya audit BPK dan kantor akuntan publik bisa menjadi acuan dan rujukan aparat penegak hukum untuk mengusut dan memeriksa kasus-kasus yang berpotensi merugikan negara.

Lantas, seperti apa kinerja mesin uang "warisan" pasangan SI di Indonesia? Siapa saja yang mengelola mesin uang tersebut? Dari mana pula mereka memperoleh dana untuk ekspansi dalam waktu yang singkat? Simak Bagian 2 Episode SI
(Hasanuddin)
Next PostPosting Lebih Baru Previous PostPosting Lama Beranda

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.