Cuci Bersih, Gaya Sjamsul-Itjih di MAP

Leave a Comment
Berdasarkan laporan keuangan konsolidasi 31 Desember 2007 dan 2006, PT.Mitra Adiperkasa, Tbk (MAP) menyebutkan, bahwa kini pemegang saham perseroan adalah PT.Mandiri Sekuritas sebanyak 34,74 persen, PT.Satya Mulia Gema Gemilang sebanyak 16,83 persen, PT.Map Primier Indonesia sebanyak 5,7 persen dan sisanya dipegang publik 42,66 persen.

Pada tahun sebelumnya, PT.Mandiri Sekuritas tidak tercatat sebagai pemegang saham karena saham MAP hanya dipegang oleh tiga pihak saja. Masing-masing PT.Satya Mulia Gema Gemilang sebanyak 51,21 persen, PT.Map Priemer Indonesia sebanyak 6,07 persen dan masyarakat tercatat sebanyak 42,70 persen.

Tangan keluarga besar Sjamsul dan Itjih Nursalim, terlihat jelas berada dalam kerajaan bisnis berbendera PT.Mitra Adiperkasa, Tbk. Namun, belakangan, secara legal bau pasangan konglomerat yang kabur ke Singapura ini mulai dipudarkan. Seiring kasus yang melilitnya melalui BLBI dan pelanggaran BMPK di BDNI.

Seperti apa rekayasa legal untuk menghilangkan kehadiran Sjamsul-Itjih Nursalim di MAP?

Begini ceritanya. Sebelumnya menjadi perusahaan terbuka, pada 29 Oktober 2004, PT. Mitra Adi Perkasa (MAP) yang didirikan pada 23 Januari 1995 dimiliki oleh keluarga Gozali. Kepemilikan saham dipegang oleh Marisa Kolonas, Muljadi Gozali, Sarkawi, Benny Gozali dan Sintia Kolonas, yang masing-masing memegang 20% saham.

Pada tahun 1996 MAP dibeli oleh PT Panen Lestari Internusa yang kepemilikannya sebagian besar dipegang langsung oleh Sjamsul Nursalim (3000 saham senilai Rp3 miliar) dan Itjih Nursalim (3000 saham senilai Rp3 miliar). Selain itu, juga tercatat Abdul Somad Basri (1500 saham senilai Rp1,5 miliar), Gustimego (3000 saham senilai Rp3 miliar), Husni Ali, keponakan Sjamsul (1500 saham senilai Rp1,5 miliar), dan Johan Setiawan (3000 saham senilai Rp3 miliar).

Seperti apa cerita PT. Panen Lestari Internusa? Perusahaan ini lahir pada tanggal 20 Februari 1990 melalui akta perubahan No 169 yang dibuat dihadapan Notaris Rachmat Santoso di Jakarta. Perseroan ini merupakan jelmaan dari PT. Sogo Lestari Indonesia yang didirikan pada tanggal 15 April 1989 oleh pemegang saham yang sama.

Disini, bertindak sebagai pengurus perseroan, antara lain tercatat Itjih Nursalim sebagai Direktur Utama, Juliana Gozali sebagai Direktur dan Sjamsul Nursalim sebagai Komisaris Utama.

Baik ketika mengusung bendera Sogo Lestari Indonesia maupun Panen Lestari Internusa, alamat yang digunakan Sjamsul dan Itjih, sama dengan tempat kejadian perkara, dicokoknya Artalita Suryani alias Ayin dan ditangkapnya Jaksa Urip Tri Gunawan setelah keluar dari rumah mewah di Jalan Simpruk Blok WG No 9 Jakarta Selatan.

Setelah MAP digenggam keluarga besar konglomerat yang kabur ini, pada pada tahun 2001, bau keluarga Sjamsul Nursalim dan Itjih secara perlahan-lahan mulai dicuci dari MAP.

Perusahaan yang menjadi raja ritel di Indonesia ini disulap menjadi milik PT Aghadana Sentosa memegang 16 % saham dan PT Satya Mulia Gema Gemilang (SMGG) menjadi pemilik 84% saham.

Begitu juga yang terjadi di PT.Panen Lestari Internusa. Semula pemegang sahamnya bersifat perseorangan, melalui Akta Nomor 280 Tanggal 24 Desember 1997 yang dibuat oleh Notaris Ny.Erli Soehandjojo dan telah disahkan oleh Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia pada 12 Okotber 2001 dengan Nomor C-10505 HT.01.04 Th 2001, modal dasar perseroan yang semula hanya Rp50 miliar ditambah menjadi Rp200 miliar.

Dengan adanya penambahan modal perseroan, kepemilikan perseoranganpun jadi berubah. Sahamnya, masing-masing dipegang PT.Adipuri Intisatya sebanyak 40 ribu lembar saham senilai Rp40 miliar dan PT.Bahtera Sinar Mulia sebanyak 75 ribu lembar saham dengan nilai Rp75 miliar.

Siapa saja yang berada dibalik PT.Adipuri dan PT.Bahtera yang menjadi pemilik PT.Panen Lestari? Adalah Haji Sutrisno yang beralamat di Depok dan Nyonya Kentjana Indriawati Thajono Prajogi yang beralamat di Surabaya serta Nyonya Sintia Kolonas yang beralamat di Green Garden, Jakarta.

Seiring langkah menghilangkan Sjamsul-Itjih Nursalim di PT.Panen Lestari Internusa, maka di PT.Mitra Adiperkasa, juga mengalami perubahan kepemilikan. Pada tahun 2002, dinasti Gozali kembali merapat langsung di MAP. Saham PT Arghadana Sentosa dijual kepada F.X. Boyke Gozali.

Ditengah iklim tekanan terhadap Sjamsul Nursalim akibat kasus BLBI dan pelanggaran BMPK yang merontokkan kerajaannya di Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI), rangkaian bagi membagi dan pecah memecah saham di MAP terus berlanjut.

Melalui akta jual-beli saham No. 61 tanggal 13 Agustus 2004 yang dibuat di hadapan Eliwaty Tjitra, SH, Notaris di Jakarta. Trah Gozali, Boyke Gozali selaku pemilik 40 ribu lembar saham, menjual dan menyerahkan sahamnya kepada PT Map Primier Indonesia (MPI). Selebihnya, tetap tetap dimiliki PT.SMGG.

Dalam rangkaian gonta-ganti baju ini, yang menarik lagi, Boyke Gozali yang menyerahkan atau menjual sahamnya di MAP pada tahun 2004 itu, ternyata sejak tahun 2003, Boyke sudah ngendon menjadi Direktur Utama MPI dan SMGG. Jadi, sebelum dijual, keluarga Sjmasul-Itjih Nursalim sudah menyiapkan MPI untuk menampung saham yang digelontorkan dari MAP.

Diektahui, sebelum menjabat sebagai Wakil Presiden Komisaris MAP pada periode tahun 2004 hingga tahun 2008, Boyke Gozali menduduki kursi Presiden Direktur PT.MAP (Tahun 2001 " 2003). Artinya, dalam waktu itu juga, keponakan Sjamsul Nursalim ini juga merangkap sebagai Direktur Utama MPI, pemegang saham MAP.

Sementara dalam jajaran Komisaris dan Direksi PT.Mitra Adiperkasa, Tbk, selain Matheus Rukmasaleh Arif yang kerap disapa Ake Arif, juga tercatat orang-orang, yang sebelumnya memang berada dalam lingkaran kerajaan bisnis Sjamsul Nursalim di Indonesia.

Sebut saja, misalnya, Juliani Gozali, sejak tahun 2003, menjabat sebagai Direktur Utama di PT Panen Lestari Internusa (pembeli PT.MAP) Selain itu, sejak tahun 2000 hingga tahun 2004 menjabat sebagai Direktur di PT Dipasena Citra Darmaja. Sebelumnya bekerja di PT Indonesia Prima Property Tbk antara tahun 1999 hingga tahun 2002 dengan jabatan terakhir sebagai Presiden Direktur. Pada tahun 1973 sampai 1985, menjadi Senior General Manager di PT Gajah Tunggal Tbk.

Sementara Kentjana Indriawati, sejak tahun 1990, sebagai Komisaris PT Panen Lestari Internusa (pembeli PT.MAP). Karirnya dimulai di PT Gajah Tunggal pada tahun 1984 dengan jabatan terakhir sebagai General Manager.

Begitu juga dengan Sjeniwati Gusman, sebelumnya berkarir di PT Dipasena Citra Darmaja dari tahun 1993 hingga tahun 2003 dengan jabatan terakhir sebagai General Manager Internal Audit.

Indrawana Widjaja, yang memulai karirnya melalui PT Bank Dagang Nasional Indonesia Tbk pada tahun 1988 sampai dengan tahun 1998 dengan jabatan terakhir sebagai Branch Manager Kantor Pusat Operasional.

Agar tak kehilangan kontrol, Boyke Gozali dan Matheus Rukmasaleh Arif alias Ake Arif, tetap menjadi titik pengendali MAP hingga 2008 ini. Keduanya, memang masih memiliki hubungan keluarga yang erat dengan pasangan Sjamsul-Itjih Nursalim.

Dalam tempo singkat, PT Mitra Adiperkasa, Tbk tumbuh menjadi Raja Ritel di Indonesia. Gerai/Outletnya berserakan mulai dari Jakarta, Bandung, Surabaya, Bali, Medan, Makasar, Batam, hingga di Menado.

Sementara soal pemegang saham lainnya, yakni PT..Satya Mulia Gema Gemilang (pemegang 16,83 persen saham MAP), juga memiliki cerita unik. Awalnya, perusahaan ini didirikan pada 30 Juni 1997 Nomor 266 yang kemudian diubah melalui Akta Notaris Wiewiek Widjajanti No 31 tanggal 25 Januari 1999 di Jakarta.

Berdasarkan penelusuran dokumen yang diperoleh, Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia baru mengesahkan Akta Pendirian Perseroan ini pada 24 Mei 1999 dengan Nomor C-8937 HT.01.01.Th.99 dan tercatat dalam tambahan Berita Negara RI tanggal 16 Agustus 2002 dengan Nomor 66.

PT.Satya Mulia Gema Gemilang, pemegang NPMP Nomor 1.849.873.3-025 ini didirikan dihadapan Notaris Erly Soehandjojo di Jakarta pada tanggal 4 Februari 1999 dan baru didaftarkan di Kantor Pendaftaran Perusahaan Jakarta Pusat pada tanggal 22 Maret 2002 dengan Nomor TDP.090515142821 dan Nomor 3376/BH.09.05/III/2002.

Didalam Akta Pendirian perseroan, tercatat sebagai pendiri, Ny Laura Rahardja, SE yang beralamat di Jl.Janur Elok 3 QD3/3, Jakarta dan Nona Nani Sukmadi yang beralamat di Jalan Jeruk Nipis Kecil II/19, Jakarta dengan jumlah modal dasar perseroan sebanyak 1000 lembar saham senilai Rp1 miliar.

Disini tercatat sebagai pemegang saham, masing-masing Laura Rahardja dan Nani Sukmadi, masing-masing sebanyak 125 lembar senilai Rp125 juta.

Adapun pengurus perseroan, hanya ada dua direksi dan dua orang komisaris. Masing-masing, Laura Rahardja dan Nani Sukmadi sebagai direktur dan Ny Raden Roro Widhyastuti dan Bahtiar Winata sebagai komisaris. Sederhana, praktis dan cerdas. Selebihnya, tak jelas lagi siapa yang menjadi pemiliknya karena dokumen legalnya sulit ditemukan. Yang pasti, Boyke Gozali pernah menjadi Direktur Utama di perusahaan ini.

Tentu saja ini baru cerita soal MAP. Bisa jadi masih banyak cerita lainnya yang sejenis. Jika sudah demikian ceritanya, kemana larinya uang yang diduga merupakan penyimpangan dana BLBI dan pemberian kredit yang melanggar BMPK melalui BDNI? Lantas ditangan siapa uang rakyat itu kini dikelola? Entahlah. Yang pasti, sejak kasus rontoknya bank-bank di Indonesia dan dimulainya era pengucuran BLBI, tiap tahun uang rakyat melalui APBN tersedot untuk membayar bunga rekap hasil kerja para konglomerat hitam yang menjadi pemilik bank di masa lalu. Rakyat tinggal gigit jari. Paling banter, hanya mampu sebatas demo-demo soal ini.
(Hasanuddin)
Read More

Warisan Kinclong Sjamsul-Itjih

Leave a Comment
Pada 4 April 1998 status bank milik Sjamsul Nursalim, BDNI ditetapkan sebagai bank take over (BTO). Baru kemudian, pada Agustus 1998, statusnya menjadi bank beku operasi (BBO).

Sebelum dilakukan era pengucuran BLBI ke BDNI senilai Rp37,039 triliun, ditengarai melalui BDNI, Sjamsul Nursalim melakukan berbagai upaya penggerusan dana masyarakat melalui berbagai transaksi ganjil terkait transper pencairan dana kredit senilai US$607,5 juta. Uang sebanyak itu ditransper melalui BDNI cabang Kepulauan Cook dan Cayman ke 10 perusahaan keluarga Sjamsul Nursalim di Singapura, Hongkong, dan Taiwan.

Nah, setelah BDNI menerima kucuran dana BLBI, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) langsung melakukan audit. Hasil audit itu menemukan adanya potensi kerugian negara dengan indikasi korupsi yang dilakukan Sjamsul Nursalim senilai Rp25,1 triliun. Kerugian negara dari akibat menyimpangnya dana BLBI itu, secara rinci tertangkap dalam 13 kasus.

Dari gambaran hasil pelacakan tersebut, setidaknya ada dua hal yang patut mendapat perhatian aparat penegak hukum. Mulai dari Kejaksaan Agung, KPK, hingga ke Mahkamah Agung.Pertama, sebelum BDNI menjadi BBO, di bank milik Sjamsul Nursalim ini telah terjadi pelanggaran berat terhadap BMPK. Nilainya mencapai US$607,5 juta. Kedua, setelah BLBI diterima BDNI, dana tersebut disalurkan tidak sesuai dengan peruntukan yang dimaksdukan oleh pemerintah. Nilainya Rp25,1 triliun.

Penggunaan dana BLBI dan tindakan menggerus dana masyarakat melalui penyaluran kridit untuk grup sendiri, jelas-jelas melanggar ketentuan tentang BMPK. Jadi kedua tindakan ini merupakan bentuk tindakan melawan hukum.

Bentuk penyaluran dana masyarakat yang tersimpan di BDNI dengan melanggar BMPK dan cara penyaluran dana BLBI yang tidak sesuai aturan hukum, sepantasnya dimata Kejaksaan merupakan bentuk tindak pidana korupsi. Namun, hingga berita ini diturunkan, tak satupun aparat penegak hukum di Indonesia mampu memulangkan seorang Sjamsul Nursalim dan Itjih Nursalim ke Indonesia guna mempertanggungjawabkan perbuatannya melalui BDNI. Bahkan, kondisi yang ada menjadi terbalik-balik.

Nah, kini Sjamsul dan Itjih Nursalim memang sudah tak ada di Indonesia. Pasangan suami istri ini bermukim di Singapura. Pilihan keduanya untuk menetap di Singapura memang sungguh tepat. Pasalnya pemerintah Indonesia belum sah memiliki perjanjian ekstradisi dengan Singapura. Walaupun sudah diteken, namun terhambat oleh gerakan politik di DPR, sehingga tidak bisa di implementasikan.

Seiring munculnya kasus dugaan suap Artalita Suryani alias Ayin yang dikenal menjadi orang dekat Sjamsul Nursalim, kepada Jaksa Urip Tri Gunawan -- Ketua Tim Jaksa yang menangani kasus BLBI Sjamsul Nursalim, mata rantai bisnis keluarga Sjamsul Nursalim di Indonesia, kembali mendapat perhatian luas.

Aparat penegak hukum, seperti Kejaksaan Agung (Kejagung), Komisi Pembrantasan Korupsi (KPK) dan Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia (Mabes Polri), hingga beberapa tokoh muda di DPR RI. Gerakan yang paling konkrit adalah berasal dari LSM Maki yang mempraperadilankan SP3 Sjamsul Nursalim.

Kemana ujung larinya dana kredit yang melanggar BMPK disalurkan? Kemana saja dana BLBI yang disalahgunakan? Apa saja "Warisan" bisnis Sjamsul-Itjih Nursalim di Indonesia? Bagaimana nasib Gajah Tunggal Grup?

Semua masih dalam penelusuran serius. Nah, salah satu bisnis "warisan" keluarga Sjamsul- Itjih Nursalim di Indonesia, adalah PT. Mitra Adi Perkasa, Tbk (MAP).

Seperti apa ceritanya? Sebelum menjadi perusahaan terbuka, pada 29 Oktober 2004, PT. Mitra Adi Perkasa (MAP) yang didirikan pada 23 Januari 1995 dimiliki oleh keluarga Gozali. Kepemilikan saham dipegang oleh Marisa Kolonas, Muljadi Gozali, Sarkawi, Benny Gozali dan Sintia Kolonas, yang masing-masing memegang 20% saham. Para pemegang saham ini memiliki hubungan dekat dengan Sjamsul dan Itjih.

Baru pada tahun 1996 MAP dibeli habis oleh PT Panen Lestari Internusa yang kepemilikannya sebagian besar dipegang oleh Sjamsul Nursalim dan Itjih Nursalim (Ingat, BDNI dibekukan pada Agustus 1998. Sebelum dibekukan ada dugaan pelanggaran BMPK)

Dalam perjalanannya, pada tahun 2001, tangan Sjamsul Nursalim, memecah kepemilikan MAP. PT Aghadana Sentosa memegang 16 % saham dan PT Satya Mulia Gema Gemilang (SMGG) menjadi pemilik 84% saham.

Setahun kemudian, tepatnya tahun 2002, dinasti Gozali kembali merapat di MAP. Saham PT Arghadana Sentosa dijual kepada F.X. Boyke Gozali.

Ditengah iklim tekanan terhadap Sjamsul Nursalim akibat kasus BLBI yang merontokkan kerajaan Gajah Tunggal, rangkaian bagi membagi dan pecah memecah saham di MAP giat dilakukan.

Melalui akta jual-beli saham No. 61 tanggal 13 Agustus 2004 yang dibuat di hadapan Eliwaty Tjitra, SH, Notaris di Jakarta. Trah Gozali, Boyke Gozali selaku pemilik 40 ribu lembar saham, menjual dan menyerahkan sahamnya kepada PT Map Primier Indonesia (MPI). Selebihnya, tetap tetap dimiliki SMGG.

Dalam rangkaian gonta-ganti baju ini, yang menarik lagi, Boyke Gozali yang menyerahkan atau menjual sahamnya di MAP pada tahun 2004 itu, ternyata sejak tahun 2003, Boyke Gozali sudah ngendon menjadi Direktur Utama MPI. Jadi, sebelum dijual ke MPI, Boyke sudah menyiapkan perusahaan ini untuk menampung saham yang digelontorkan dari MAP.

Sebelum menjabat sebagai Wakil Presiden Komisaris Perseroan sejak tahun 2004 hingga tahun 2008, diketahui juga bahwa Boyke Gozali sejak tahun 2001 menjadi Presiden Direktur PT.MAP. Artinya, dalam waktu itu juga, keponakan Sjamsul Nursalim ini juga merangkap sebagai Direktur Utama MPI, pemegang saham MAP. Termasuk, pernah menjabat sebagai Direktur Utama PT.SMGG, pemegang saham MAP lainnya.

Sementara dalam jajaran Komisaris dan Direksi PT.Mitra Adiperkasa, Tbk, selain Matheus Rukmasaleh Arif (Ake Arif) dan Boyke Gozali, keduanya keponakan Sjamsul-Itjih, juga tercatat personal-personal, yang sebelumnya memang berada dalam lingkaran kerajaan bisnis Sjamsul Nursalim di Indonesia. Tentunya sebelum konglomerat ini kabur dari Indonesia.

Sebut saja, misalnya, Juliani Gozali, sejak tahun 2003, menjabat sebagai Direktur Utama di PT Panen Lestari Internusa (pembeli PT.MAP) Selain itu, sejak tahun 2000 hingga tahun 2004 menjabat sebagai Direktur di PT Dipasena Citra Darmaja. Sebelumnya bekerja di PT Indonesia Prima Property Tbk antara tahun 1999 hingga tahun 2002 dengan jabatan terakhir sebagai Presiden Direktur. Pada tahun 1973 sampai 1985, menjadi Senior General Manager di PT Gajah Tunggal Tbk.

Sementara Kentjana Indriawati, sejak tahun 1990, sebagai Komisaris PT Panen Lestari Internusa (pembeli PT.MAP). Karirnya dimulai di PT Gajah Tunggal pada tahun 1984 dengan jabatan terakhir sebagai General Manager.

Begitu juga dengan Sjeniwati Gusman, sebelumnya berkarir di PT Dipasena Citra Darmaja dari tahun 1993 hingga tahun 2003 dengan jabatan terakhir sebagai General Manager Internal Audit.

Tak ketinggalan Indrawana Widjaja, memulai kerjanya di PT Bank Dagang Nasional Indonesia Tbk pada tahun 1988 sampai dengan tahun 1998 dengan jabatan terakhir sebagai Branch Manager Kantor Pusat Operasional.

Bak meteor jatuh dari langit. Dalam tempo singkat, "warisan" Sjamsul-Itjih ini melesat menjadi raksasa ritel produk dan jasa premium di Indonesia.Gerai/Outletnya berserakan mulai dari Jakarta, Bandung, Surabaya, Bali, Medan, Makasar, Batam, hingga di Menado.

Pengusaha sejati memang harus selalu bermata jeli. Dalam situasi dan kondisi seburuk apa pun, ia harus sigap membaca sekaligus menubruk peluang. Racikan-racikan jitu dalam menyusun skenario legal perusahaan, tentu termasuk yang harus dipikirkan. Buka tutup, gonta ganti baju, merupakan salah satu siasat yang harus dikembangkan, apalagi ditengah tekanan dan soroton publik.

Nah, guna menghindari bau Sjamsul Nursalim, pekerjaan gonta ganti baju secara legal di MAP, merupakan pekerjaan rutin yang dilakukan. Dalam Laporan Keuangan MAP Juni 2006, kendaraan awal Sjamsul Nursalim dan Itjih Nursalim masih tercatat PT Panen Lestari Internusa (PLI) sebagai pemegang saham langsung sebesar 99,00 %. Sementara satu persen berupa kepemilikan tidak langsung melalui PT Premier Capital Investment (PCI).

Pada laporan tahunan MAP tahun 2006 " 2005, pemegang sahamnya tercatat PT. Satya Mulia Gema Gumilang (SMGG) sebesar 51,3 persen. Sisanya, yang enam persen dipegang MPI dan sebesar 42,7 persen dipegang masyarakat.

Sementara dalam laporan tahun berikutnya, (2007 " 2006), komposisi kepemilikan saham di MAP kembali berubah secara drastis. Adalah pendatang baru, yakni PT.Mandiri Sekuritas Repo/Reverse Repo Ind-L yang menggerus saham SMGG dan MPI. Mandiri memiliki sebesar 34,75 persen. Sementara SMGG yang semula memiliki 51,3 persen menciut jadi 16,83 persen. Dan saham MPI pun berkurang, menjadi hanya 5,74 persen. Sementara kepemilikan masyarakat juga berkurang menjadi 42,6 persen.

Disinikah, dana kredit yang melanggar BMPK dan dana BLBI yang diselewengkan penyalurannya berkembang biak? Tentu harus dibuktikan,lagi-lagi harus berdasarkan hukum. Tidak boleh menduga-duga dan berprasangka. (Simak Bagian 3..Bersih-bersih....)
(Hasanuddin)
Read More

Kemana Larinya BLBI Sjamsul Nursalim?

Leave a Comment
Pasangan Sjamsul Nursalim dan Itjih Nursalim (SI) -- disebut sebagian masyarakat sebagai konglomerat hitam,bisa jadi tersenyum mencibir dari negeri seberang, Singapura. Mengapa? Bisa jadi karena melihat berbagai langkah masyarakat dan aparat penegak hukum di Indonesia yang ingin mengusik-usik masalah Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang tergerus melalui bank milik mereka, Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI).

Rangkaian terusiknya kasus BLBI SI, diawali dengan tertangkapnya Ketua Tim Jaksa "BLBI Sjamsul Nursalim" Urip Tri Gunawan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atas tuduhan menerima suap dari Artalita Suryani alias Ayin, salah satu orang kepercayaan SI di Indonesia senilai US$ 660.000.

Kemudian, sejak Senin (28/4) di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, soal Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) terhadap Sjamsul Nursalim yang dikeluarkan Kejaksaan Agung pada 13 Juli 2004, kembali digugat.

Adalah LSM Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (Maki) dari Solo yang mempraperadilankan SP3 yang diterima Sjamsul Nursalim. Maki meminta pengadilan untuk membatalkan SP3 Sjamsul, sekaligus meminta agar Kejaksaan membuka kembali kasus BLBI Sjamsul.

Masyarakat mengetahui, SP3 Sjamsul Nursalim yang dikeluarkan pada era Jaksa Agung MA Rachman terbit berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2002 yang diteken Presiden Megawati Soekarnoputri.

Menurut Boyamin Saiman, koordinator Maki, Inpres tentang surat keterangan lunas (SKL) adalah keputusan eksekutif yang tidak dapat dijadikan pedoman penghentian penyidikan. "Penghentian penyidikan atas perkara ini tidak sah dan tidak berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku, sehingga harus dibatalkan," ungkap Boyamin.

Bakal seperti apa, dua kasus yang melibatkan "bau" Sjamsul Nursalim ke depan? Tentu tergantung keteguhan iman jajaran KPK dan Hakim di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Tak ketinggalan kekuatan iman LSM Maki yang mempraperadilankan SP3 Sjamsul Nursalim juga turut dicoba. Kenapa?

Walaupun tidak tidak pernah menyambangi Indonesia, sejak diberi izin berobat ke Jepang beberapa tahun lalu, bukan berarti "kaki tangan" SI tak ada di Indonesia. Bisa jadi cukup banyak bergentayangan di negeri ini. Merekalah yang bermain untuk mewakili kepentingan pasangan SI di Indonesia.

Kepiawaian "kakitangan" SI sudah terbukti cukup akurat. Bahkan, belakangan, berdasarkan keterangan yang dihimpun bandarlampungnews.com dan politikindonesia.com, seorang jurnalis dibuat gontai ketika berhadapan dengan "kakitangan" SI.

Menurut keterangan yang diperoleh dari penelusuran itu, "kaki tangan" SI di Indonesia memiliki berbagai peran. Mulai dari yang mengelola bisnis, hingga para pe-lobbies yang membantunya untuk meredam berbagai masalah yang timbul akibat kasus Ayin dan kasus yang menyoal SP3 Sjamsul Nursalim. Termasuk yang mengurusi media massa. "Walaupun bisnis mereka jelas-jelas "warisan" pasangan SI, mereka tidak mau dikait-kaitkan dengan SI," ujar sumber itu.

Sebelum hengkang dari Indonesia, mesin bisnis pasangan SI, selain yang diserahkan melalui Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), memang cukup banyak. Ada yang melaju kencang, ada juga yang ditahan-tahan larinya sembari menunggu situasi pemerintahan yang berpihak kepada mereka.

Sebut saja, salah satu "warisan" SI yang kinclong adalah PT.Mitra Adi Perkasa"yang menjadi perusahaan terbuka, pada 29 Oktober 2004. Perusahaan ini dibeli SI pada tahun 1996 melalui instrument legal PT Panen Lestari Internusa (PLI) yang merupakan penjelmaan dari PT.Sogo Lestari Indonesia.

Ketika itu, PT.PLI kepemilikannya sebagian besar dipegang langsung oleh Sjamsul Nursalim (3000 saham senilai Rp3 miliar) dan Itjih Nursalim (3000 saham senilai Rp3 miliar). Selain itu, saham PLI juga dimiliki Abdul Somad Basri (1500 saham senilai Rp1,5 miliar), Gustimego (3000 saham senilai Rp3 miliar), Husni Ali, keponakan Sjamsul (1500 saham senilai Rp1,5 miliar), dan Johan Setiawan (3000 saham senilai Rp3 miliar).

Alamat yang digunakan pasangan SI, sama persis dengan alamat rumah yang diakui Artalita Suryani menjadi milik pribadinya, ketika kasus suap Jaksa Urip terungkap oleh KPK.

Berapa besar dugaan duit rakyat yang digondol Sjamsul Nursalim melalui Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) di BDNI?

Ketika itu, dan sudah menjadi pengetahuan public, data audit investagasi Badan Pemeriksa Keungan (BPK) dan kantor auditor independen yang sudah terpublikasi luas menyebutkan, dari dana BLBI Rp37,039 triliun yang diterima Sjamsul Nursalim melalui BDNI pada 1999, sebesar 60 persen atau Rp25,1 triliun diduga diselewengkan. Artinya, audit tersebut menemukan penyimpangan yang berindikasi tindak pidana korupsi (TPK) sebesar Rp25,1 triliun.

Tentu, bila BLBI yang diterima melalui BDNI dibandingkan dengan uang dugaan suap 660.000 dolar AS yang diberikan Ayin kepada Urip, tak berarti apa-apa. Pihak mana yang pantas disalahkan dalam kasus Sjamsul Nursalim? Entahlah.

Setidaknya, Ketua BPK Anwar Nasution menilai, penyelesaian kasus BLBI, sejauh ini sebagai upaya menyelematkan para obligor. "Itu tidak hanya menyelamatkan uang negara, tapi juga menyelamatkan tauke-tauke," ujar Anwar Nasution, di Jakarta, Rabu (3/4).

Menurut Anwar Nasution, kaburnya sejumlah obligor nakal BLBI ke Singapura merupakan kesalahan para aparat hukum di Indonesia. "Konglomerat lari ke Singapura kok Singapura yang disalahkan. Yang kasih mereka tinggalkan Indonesia siapa? Aparat kita kan. Jangan cari kambing hitam," ujar Anwar Nasution.

Seperti diketahui, ketika itu Tim investigasi BPPN menemukan sejumlah pelanggaran kucuran kredit BDNI sebesar US$ 607 juta ke perusahaan afiliasi di luar negeri.

Pada dokumen yang diberi judul " Lampiran Laporan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) ke Kejaksaan Agung mengenai PT Bank Dagang Nasional Indonesia, isinya menyangkut berbagai indikasi pelanggaran kredit oleh BDNI milik Sjamsul Nursalim, sebelum dibekukan pada Agustus 1998.

Pelanggaran menyangkut pengucuran kredit triliunan rupiah ke berbagai perusahaan afiliasi di dalam dan luar negeri di luar Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK).

Khusus yang ke luar negeri, dilacak oleh tim forensik audit BPPN bersama lembaga investigasi internasional, Business Fraud Solutions (BFS), yang dikontrak pada 13 Agustus 1998.

Dari pelacakan sebulan penuh, BFS menemukan sejumlah transaksi ganjil
terkait transfer dana pencairan kredit US$ 607,5 juta (sekitar Rp 5,5 triliun) melalui BDNI cabang Kepulauan Cook dan Cayman ke 10 perusahaan Nursalim di Singapura, Hong Kong, dan Taiwan.

Dana sebesar US$ 386,5 juta dicairkan dalam 21 kali pengiriman ke rekening East Asia America Capital di Chase Manhattan Bank, New York, Amerika Serikat. Sisanya ditransfer ke lima bank lain di Singapura dan Taipei, sebelum akhirnya seluruh dana itu parkir di 10 perusahaan tersebut.

Dari penelitian, diduga sebagian akad kredit fiktif. Indikasinya, 17 dari 39 total transfer melanggar prosedur: persetujuan dan perjanjian kredit baru dibuat setelah dana ditransfer.

Proposal kredit disiapkan Laurensia Sally Lawu sebagai Kepala BDNI Cabang Cook Islands dan Cayman Islands. Kredit disetujui Sjamsul dan Husni Ali, keponakan Itjih Nursalim-istri Sjamsul. Pencairan ditangani Michelle Liem, putri tertua Sjamsul, bersama Lim Min Lin, orang dekat keluarga dan bekas guru anak-anaknya.

Ternyata East Asia dan berbagai perusahaan itu terkait keluarga Sjamsul. Sebanyak 80 persen saham East Asia dimiliki Ban Hin Leong Co. Ltd. Sisanya milik Michelle dan Wai Hop Co. Ltd.

Meski data terbaru menyebutkan Ban Hin Leong milik Ng Oi Wan (90 persen) dan Chan Sau Mei (10 persen), hingga November 1997-saat dana ditransfer-perusahaan ini masih dikuasai penuh Sjamsul dan Itjih. Keduanya direktur di East Asia. Sjamsul, Itjih, Michelle, dan adiknya, Cherie Nursalim, juga pemilik banyak perusahaan penerima kredit itu.

Dari setumpuk bukti itu, sulit dimungkiri aliran kredit pada akhirnya berujung pada keluarga Sjamsul Nursalim sendiri.

Nah setelah soal pelanggaran BMPK, pada 14 Februari 1998, BDNI masuk program penyehatan perbankan.

Lantas, Bank Indonesia (BI) menyerahkan BDNI kepada Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Kemudian, pada 4 April 1998, status BDNI ditetapkan sebagai bank take over (BTO). Pada Agustus 1998, statusnya dinaikkan menjadi bank beku operasi (BBO).

Pada tahun yang sama, untuk membayar semua utang Sjamsul Nursalim sebagai pemilik BDNI, BPPN merancang pembayaran utang lewat master settlement and acquisition agreement (MSAA/perjanjian penyelesaian utang dengan jaminan aset).

Pada saat pendirian PT Tunas (perusahaan yang dibentuk bersama BPPN) langsung dinyatakan memiliki utang kepada BPPN sejumlah utang yang perlu diselesaikan oleh BDNI. Utang itu disebut dengan settlement amount (utang yang jumlahnya ditentukan melalui kerangka MSAA). Pada 21 Agustus 1998, settlement amount (utang) BDNI kepada pemerintah ditetapkan sejumlah Rp28,4 triliun.

Akibat status BDNI sudah BBO, tetapi ada dana nasabah yang harus diselematkan, maka dimulailah era penyuntikan dana BLBI ke BDNI senilai Rp37,039 triliun. Jelasnya, kasus pelanggaran BMPK yang dilakukan BDNI dan penggerusan BLBI merupakan dua kasus yang berbeda.

Ketika BDNI menerima dana BLBI senilai Rp37,039 triliun pada 29 Januari 1999, dana tersebut masing-masing untuk pos fasilitas Surat Berharga Pasar Uang Khusus (SBPUK) Rp9,755 triliun, fasilitas saldo debet Rp20,928 triliun, saldo debet Rp1,617 triliun dan dana talangan valuta asing milik BDNI Rp4,39 triliun.

Nah, setelah BDNI menerima BLBI, BPK langsung melakukan audit. Hasil audit BPK menyebutkan ada potensi kerugian negara dengan indikasi korupsi yang dilakukan Sjamsul Nursalim. Potensi kerugian negara senilai Rp25,1 triliun.

Kerugian negara dari dana BLBI itu, dirinci dalam 13 kasus. Pertama, BDNI mencairkan giro dan deposito milik grup terkait sebesar Rp248,59 miliar.

Kedua, BDNI membayar talangan atas transaksi netting SWAP antar bank dengan PT Bank Bali Tbk. yang terlambat didaftarkan ke BI namun tetap dibayarkan oleh BI sebesar Rp904,64 miliar (ini terjadi pada kasus PT Bank Bali Tbk.). Ketiga, transaksi pembelian valas sebesar Rp9,22 triliun yang dilakukan pada saat posisi devisa netto telah melampaui ketentuan yang berlaku.

Keempat, pembayaran transaksi valas yang diteruskan ke American Express Bank yang jatuh tempo pada 11 Juni 1998 sebesar Rp17,86 miliar.

Kelima, placement (penempatan) baru dengan menggunakan/menambah saldo debet sebesar Rp1,45 miliar dan USD271,383,378.25 yang ekuivalen dengan Rp2,43 triliun. Keenam, placement baru pada PT Bank Bali, Tbk. dan PT BIP dengan menggunakan saldo debet masing-masing sebesar Rp563 miliar dan Rp45 miliar.

Ketujuh, pembayaran utang letter of credit (L/C) atau SKBDN (Surat Kredit Berdokumen Dalam Negeri) grup terkait pada saat saldo giro bank di BI telah merah sebesar Rp44,80 miliar.

Kedelapan, pembayaran dana talangan kepada kreditur luar negeri untuk menutupi kewajiban nasabah grup/terkait sebesar Rp2,74 triliun. Kesembilan, pembayaran dari debitur untuk melunasi kewajiban kepada kreditur luar negeri tidak diteruskan oleh bank dan bahkan kewajiban ini dilaporkan default agar dapat ditalangi oleh BI sebesar Rp145,90 miliar.

Kesepuluh, pemberian kredit valas melalui cabang Cayman Island dan Cook Island kepada debitur luar negeri sebesar USD 182.529.875 ekuivalen Rp669,88 miliar.

Kesebelas, pemberian kredit rupiah (IDR) kepada grup terkait yang dananya digunakan untuk transaksi di Pasar Uang Antar Bank (PUAB) sebesar Rp4,99 triliun.

Keduabelas, pembelian/pembangunan aktiva/bangunan baru pada periode Oktober s.d Desember 1997 sebesar Rp3,65 miliar. Dan Ketigabelas, pembayaran hutang Banker Acceptances untuk kepentingan bank dan nasabah grup dengan dana talangan dari BI, sebesar USD 213.314.388,16 atau ekuivalen Rp1,91 triliun.

Atas semua kelakukan itu, (hanya untuk dana BLBI. Bukan pelanggaran BMPK) Sjamsul Nursalim menyerahkan aset yang dinilai sebesar Rp27,4 triliun. Masing-masing , aset GT Petrochem (Rp 7,53 triliun), PT Tire dan Dipasena Darma Citra Darmaja (senilai Rp 19,9 triliun). Namun laporan Tim Bantuan Hukum BPPN pada 2002 menunjukkan bahwa nilai riil Dipasena hanya Rp5,2 triliun.

Pertanyaannya, kemana larinya dana sekitar Rp 25 trliun? Mantan Direktur Hukum BPPN, Robertus Bilitea mengatakan, kasus BLBI memang harus bisa dibuka lagi dan terus diselesaikan secara hukum. Meski, Sjamsul Nursalim telah menyerahkan asetnya, tapi, tindak pidana yang dilakukan Nursalim telah terjadi dan harus terus diusut. ""Ibaratnya, ada pencuri yang telah mengembalikan hasil curiannya, masa pencurinya tidak ditangkap,"" ujarnya.

Menurut Robertus, sebenarnya audit BPK dan kantor akuntan publik bisa menjadi acuan dan rujukan aparat penegak hukum untuk mengusut dan memeriksa kasus-kasus yang berpotensi merugikan negara.

Lantas, seperti apa kinerja mesin uang "warisan" pasangan SI di Indonesia? Siapa saja yang mengelola mesin uang tersebut? Dari mana pula mereka memperoleh dana untuk ekspansi dalam waktu yang singkat? Simak Bagian 2 Episode SI
(Hasanuddin)
Read More

Dulu Obral Kini Menjegal

Leave a Comment

Kejaksaan Agung membuat gebrakan baru. Dua tim khusus tengah dibentuk untuk menelisik ulang penyelesaian utang BLBI senilai Rp 650 triliun oleh para mantan pemilik bank yang remuk diterjang krisis ekonomi sepuluh tahun silam. Bisa jadi bos Grup Gajah Tunggal, Sjamsul Nursalim, akan kembali dibidik. Setumpuk dokumen yang dimiliki Tempo mengindikasikan adanya berbagai tindak pidana di Bank Dagang Nasional Indonesia miliknya. Kejaksaan Agung pun pernah meminta pihak Amerika melacak asetnya di sana.

… suatu pagi, 2002.


KWIK Kian Gie masih ingat betul momen lima tahun silam ini. Dengan tergesa-gesa, Kwik yang saat itu menjabat Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional memenuhi undangan Presiden Megawati Soekarnoputri datang ke kediaman resminya di Jalan Teuku Umar, Menteng, Jakarta Pusat.


Jarum jam baru menunjuk angka 07.00. Namun alangkah terkejutnya Kwik sesampainya di sana. Para menteri ekonomi yang dipimpin Menteri Koordinator Perekonomian Dorodjatun Kuntjoro-Jakti sudah lengkap berkumpul. ”Mirip sidang kabinet,” kata Kwik mengenang.


Rupanya, sebuah agenda penting siap dibahas. Presiden tengah menimang-nimang kemungkinan mengeluarkan keputusan release and discharge (R&D) alias pembebasan dari segala tuntutan hukum kepada para konglomerat yang dianggap telah melunasi utangnya.

Kwik, yang sejak Orde Baru banyak mengkritik polah para konglomerat, kontan tak setuju. ”Itu hari Jumat,” ujarnya. Dua hari kemudian, ia diundang kembali untuk menemui Megawati. Tapi Kwik tetap berkeras. Mega pun kemudian berpesan agar Kwik membicarakannya dengan Dorodjatun.

Sampai akhirnya tibalah pembahasan R&D di sidang kabinet terbatas. Dalam rapat itu, Megawati lagi-lagi menyatakan niatnya mengambil keputusan tentang R&D yang diwarisinya dari pemerintah sebelumnya. Kwik tak berdaya. ”Saya hanya bisa ngedumel… ’mati aku’,” ujarnya.

Namun ia masih mencoba meredam. Kwik angkat tangan dan tetap menyatakan tak setuju. Tapi tekad Megawati sudah bulat. Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2002, yang menjadi kado istimewa buat para konglomerat, akhirnya ia teken pada 30 Desember 2002.

Instruksi itu ditujukan kepada para menteri, Jaksa Agung, Kepala Kepolisian RI, dan Ketua Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Salah satu instruksinya, mereka diminta memberikan bukti penyelesaian dan pembebasan kepada para debitor kakap yang telah menyelesaikan utangnya kepada negara.

Para debitor kakap itu adalah mantan pemilik bank yang telah menikmati kucuran dana bantuan likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dari pemerintah. Program bantuan ini diadakan untuk menambal bolong brankas bank-bank yang remuk diamuk badai krisis ekonomi pada 1997-1998

Dalam rangka pemulihan, sejumlah bank itu menjadi pasien BPPN. Para konglomerat pun diikat dalam sebuah perjanjian dan diharuskan menyerahkan beberapa asetnya ke BPPN. Namun belakangan diketahui banyak konglomerat menyalahgunakan dana bantuan itu. Celakanya, BPPN hanya berhasil mencapai tingkat pengembalian—lewat penjualan aset—sekitar 20 persen dari dana kucuran BLBI Rp 650 triliun.

Berbekal instruksi tersebut, Ketua BPPN terakhir, Syafruddin Temenggung, ”mengobral” surat keterangan lunas kepada para konglomerat. Hingga BPPN ditutup pada Februari 2004, menurut catatan Indonesia Corruption Watch, ada 22 debitor yang menikmati kado istimewa ini.

Ekonom Dradjad Wibowo pernah mempertanyakan transparansi penilaian pemberian surat lunas itu. ”Saya yakin, masalah R&D ini akan menjadi hantu yang terus mengejar sebagian pejabat pemerintah Megawati,” ujarnya.


5 Juni 2007
Baru sebulan dikukuhkan sebagai Jaksa Agung, Hendarman Supandji langsung menggebrak. Setelah bertemu dengan pimpinan teras Komisi Pemberantasan Korupsi, ia mengumumkan rencana pembentukan tim khusus investigasi kasus BLBI yang tertunda tiga tahun.

Beranggotakan 35 orang, tim ini terbagi dalam dua regu: Regu Pemeriksa dan Regu Penindakan. ”Targetnya, sebelum 22 Juli sudah harus terbentuk,” kata Sekretaris Jaksa Agung Muda Pidana Khusus, Kemas Yahya Rahman, Kamis pekan lalu (lihat ”Jaksa Masuk Hutan Memedi”).

Yang bikin ketar-ketir para konglomerat, pemeriksaan juga mencakup penyelesaian kewajiban para debitor yang sudah mengantongi surat lunas. Khusus buat para pengutang yang masih buron, regu penindakan bakal memburunya.

Meski begitu, kata Kemas, kebijakan surat lunas tidak akan diutak-atik. Yang diperiksa adalah pertimbangan di balik pemberian surat lunas kepada para pengutang. Jika ternyata aset yang diserahkannya tekor atawa bodong, ”Itu yang akan kami usut,” kata Kemas.

Berbagai kalangan mendukung niat kejaksaan. Sebab, ”Terbukti banyak aset bodong yang diserahkan ke pemerintah,” kata Koordinator ICW Bidang Monitoring Peradilan, Emerson Yuntho.

Kwik juga sepakat. Ia bahkan menilai perjanjian yang dibuat antara pemerintah dan para taipan eks pemilik bank pada 1998 pun cacat hukum. Perjanjian yang dimaksud adalah master of settlement and acquisition agreement (MSAA), yang mengatur klausul release and discharge.

Menurut Kwik, atas permintaannya, dua pakar hukum, Fred Tumbuan dan Kartini Muljadi, pernah mengkaji perjanjian ini. Kesimpulannya, MSAA sangat bertentangan dengan Undang-Undang Perbankan Indonesia. Dalam undang-undang itu disebutkan bahwa penyelewengan dana bank untuk kepentingan pemilik bank masuk kategori pidana. ”Jadi, tidak bisa diselesaikan dengan perjanjian perdata seperti MSAA,” ujarnya.

Marzuki Darusman, Jaksa Agung semasa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid, berpendapat senada. Menurut dia, Kejaksaan Agung tidak pernah mengakui klausul pengampunan tindak pidana. Kebijakan itu baru bisa diberlakukan jika sudah ada undang-undang yang memayunginya, bukan sekadar didasarkan pada instruksi presiden. Pula, kata politisi Partai Golkar ini, kejaksaan belum pernah mendeponir kasus pidana para debitor. Karena itu, kejaksaan hendaknya menggugat kebijakan pengampunan yang telah dikeluarkan pemerintah Megawati. ”Atas dasar apa itu diberikan,” ujarnya.

Dengan alasan yang sama, mantan anggota tim bantuan hukum BPPN, Luhut Pangaribuan, juga berpendapat bahwa keputusan Kejaksaan Agung yang telah mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3) bisa dibongkar ulang. Sebab, belum ada pendeponiran kasus. ”Jadi, bisa dibuka kembali sewaktu-waktu,” katanya.

DARI puluhan konglomerat yang telah mengantongi surat lunas, Sjamsul Nursalim, yang berutang ke negara Rp 28,4 triliun, boleh jadi yang paling rawan. Setumpuk bukti mengungkap berbagai indikasi kecurangan yang telah dilakukan bos Grup Gajah Tunggal itu. Bukti-bukti itu bahkan sudah lama ada di kantong kejaksaan.

Salah satunya tertuang dalam dokumen kejaksaan berjudul Letter of Request of Assistance in the Criminal Matter, tertanggal 14 September 2000, yang dibuat Jaksa Agung Marzuki Darusman. Surat itu ditujukan kepada Kantor Urusan Internasional Divisi Kriminal Departemen Kehakiman Amerika Serikat. Isinya meminta bantuan pelacakan dan pembekuan aset Sjamsul Nursalim di negeri adikuasa itu.

Alasannya, dari hasil investigasi kejaksaan ditemukan indikasi adanya pelanggaran transaksi kredit US$ 386,5 juta (sekarang setara dengan Rp 3,5 triliun) oleh pemilik lama Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) kepunyaan Sjamsul, dari pertengahan Juni 1995 hingga akhir Oktober 1997. Dana dicairkan dalam 21 kali transfer ke rekening East Asia America Capital di Chase Manhattan Bank, New York. Kejaksaan melihat ada indikasi tindak kriminal dalam transaksi ini, karena East Asia ternyata masih kepunyaan keluarga Sjamsul.

Apalagi perjanjian kredit dari 12 transaksi itu baru dibuat beberapa bulan setelah dana dicairkan. Dan yang bikin kejaksaan waswas, dana itu kabarnya sebagian besar sudah ”menguap”. Yang tersisa saat itu diperkirakan tinggal US$ 150 ribu (sekarang sekitar Rp. 1,35 triliun). Karena itulah, kejaksaan meminta pihak Amerika segera melacak dan membekukan aset-aset yang dibeli dari dana tersebut.

Marzuki membenarkan pihaknya pernah meminta bantuan Amerika dan menyerahkan dokumen itu ketika bertemu dengan Jaksa Agung Amerika, Janet Reno. ”Tapi itu belum surat resmi,” ujarnya. Adapun True Rowan, petugas dari Divisi Kriminal Departemen Kehakiman Amerika, tak bisa memberikan konfirmasi. ”Silakan Anda menghubungi Kejaksaan Agung Indonesia,” ujarnya.

Dalam dokumen itu, kejaksaan juga menyodorkan sejumlah temuan Business Fraud Solutions (BFS), lembaga investigasi internasional yang dikontrak dan bekerja sama dengan tim forensik audit BPPN—dibentuk semasa kepemimpinan Cacuk Sudarijanto dan dibubarkan oleh penggantinya, Putu Ary Suta.

Dari hasil investigasi BFS diketahui bahwa transaksi kredit afiliasi itu bahkan mencapai US$ 607 juta (Rp 5,5 triliun), yang ditransfer melalui BDNI cabang Kepulauan Cook dan Cayman kepada 10 perusahaan Nursalim di Singapura, Hong Kong, dan Taiwan

Proposal kredit disiapkan oleh Laurensia Sally Lawu sebagai kepala kedua cabang BDNI itu. Adapun persetujuan kredit dikeluarkan oleh Sjamsul Nursalim dan Husni Ali, keponakan Itjih, istri Sjamsul Nursalim (lihat ”Berputar di Keluarga Nursalim”).

Melihat bahwa sebagian transaksi kredit itu dilakukan menjelang dana BLBI digelontorkan, sejumlah pihak menuding memang ada niat dari pengelola BDNI untuk mengeduk dana tombokan pemerintah dengan cara mengosongkan brankasnya. Seperti kita ketahui, dana BLBI yang diterima Sjamsul mencapai Rp 28,4 triliun.

Tudingan lainnya, seperti dituturkan sumber Tempo, seorang bankir investasi asing, besar kemungkinan transfer dolar itu merupakan jurus Sjamsul untuk menghindarkan BDNI dari pelanggaran batas maksimum pemberian kredit (BMPK) ke grup sendiri, sebelum Bank Indonesia melakukan audit tahunan.

Caranya, ya itu tadi, dibuat seakan-akan BDNI memberikan pinjaman dolar ke pihak ketiga US$ 607 juta (sekarang sekitar Rp. 5,4 triliun). Selanjutnya, dana itu ditukarkan ke dalam rupiah untuk membayar utang-utang perusahaan Sjamsul ke BDNI, agar tak lagi melanggar BMPK. ”BDNI Cook Islands itu cuma nama,” ujar sumber itu. ”Prakteknya dioperasikan dari Gedung BDNI lantai 8, Hayam Wuruk, Jakarta.”

Kepada majalah ini (Tempo, 26 Mei 2002), Itjih pernah membantah aksi patgulipat di balik transaksi itu. ”Tidak satu sen pun dana BLBI kami transfer ke luar negeri,” ujarnya. ”Itu hanya restrukturisasi portofolio kredit.” Sebagian kredit yang semula dalam rupiah dikonversi ke dolar. ”Kami hanya melindungi BDNI supaya tidak menderita rugi kurs terlalu banyak.”

Sayang, Sally Lawu menolak berkomentar untuk memperjelas duduk persoalan ini. ”Saya sudah tidak di Gajah Tunggal lagi,” ujarnya singkat, Kamis pekan lalu. Upaya Tempo meminta keterangan dari dua petinggi Gajah Tunggal, Mulyati Gozali (wakil presiden komisaris) dan Catharina Wijaya (direktur), pun tak membuahkan hasil.

Tempo, yang datang ke kantor Gajah Tunggal di Wisma Hayam Wuruk, Jakarta, hanya mendapat jawaban dari sekretaris Mulyati dan Catharina bahwa keduanya menolak berkomentar, meski sudah menerima surat permohonan wawancara. Surat elektronik yang disampaikan kepada dua anak Sjamsul yang kini menjabat Direktur Tuan Sing Holdings di Singapura—Susanto Nursalim dan Michelle Nursalim—pun tak berbalas. Sedangkan rumah Sjamsul di kawasan Simprug, Kebayoran, Jakarta Selatan, menurut seorang petugas di sana, sudah lama tak dikunjungi majikannya.

Maqdir Ismail, kuasa hukum Sjamsul, mengaku tidak tahu persis ihwal transfer dana ke luar negeri itu. Tapi, yang pasti, katanya, Sjamsul sudah melunasi utang BLBI dengan aset-aset yang diserahkannya. ”Dia sudah mendapat keterangan lunas,” ujarnya. ”Kalau ini dipersoalkan kembali, berarti pemerintah tidak menghargai perjanjian yang ada.”

Mantan Menteri Koordinator Perekonomian Dorodjatun Kuntjoro-Jakti, yang saat itu juga menjabat Ketua Komite Kebijakan Sektor Keuangan, membenarkan bahwa pemberian surat lunas buat Sjamsul memang merupakan keputusan resmi pemerintah, yang juga telah dikoordinasikan dengan lembaga legislatif dan yudikatif.

Meski begitu, dia tidak menutup kemungkinan jika ditemukan unsur kecurangan, kasus ini bisa kembali diselidiki. ”Waktu itu kan undang-undang korupsi belum ada,” ujarnya. ”Komisi Pemberantasan Korupsi pun baru didirikan menjelang berakhirnya pemerintahan Megawati.”

Jika begitu, langkah kejaksaan bisa dimulai dengan menelisik ulang temuan BFS tadi. Apalagi, ditengarai tiga perusahaan yang diserahkan Sjamsul (GT Petrochem, GT Tire, dan Dipasena) jauh dari memadai. Dalam surat PT Tunas Sepadan Investama (perusahaan induk penampung aset Sjamsul) pada 13 Oktober 1999 disebutkan bahwa aset yang semula ditaksir Rp 27,4 triliun itu telah merosot tinggal Rp 6,3 triliun.

Menurut kajian yang dibuat tim bantuan hukum (TBH) BPPN, kemerosotan terbesar dialami tambak udang Dipasena, dari semula ditaksir Rp 20 triliun menjadi tinggal Rp 5,2 triliun. Salah satu penyebabnya, kredit petambak udang yang diserahkan ke BPPN ternyata macet, dan ini tidak pernah dilaporkan. Itu sebabnya, TBH dan komite pengawas BPPN yang diketuai Mar’ie Muhammad pernah meminta aset Sjamsul dinilai ulang. Komite pun meminta temuan BFS ditindaklanjuti.

Tapi sayang, berbagai usul dan rekomendasi itu tak pernah bersambut. Sjamsul bahkan dianugerahi surat lunas pada saat-saat akhir ”masa bakti” BPPN.

Metta Dharmasaputra, Heri Susanto,Muchamad Nafi, DA Candraningrum, Abdul Manan

Pasang Surut Kasus Nursalim

1998
14 Februari
Bank Dagang Nasional Indonesia menjadi pasien Badan Penyehatan Perbankan Nasional.

21 Agustus
BDNI dibekukan.

21 September
Sjamsul Nursalim meneken perjanjian penyelesaian utang (MSAA).

1999
25 Mei
Sjamsul menyerahkan aset Rp 27,4 triliun dan setoran tunai Rp 1 triliun ke BPPN.

31 Desember
Badan Pemeriksa Keuangan mengumumkan audit Bantuan Likuiditas Bank Indonesia. BDNI termasuk bank yang menyelewengkan dana BLBI.

2000
29 Mei
Ketua BPK S.B. Joedono melaporkan 10 bank yang diduga menyelewengkan BLBI, termasuk BDNI, ke Kejaksaan Agung.

11 September
Kejaksaan Agung meminta bantuan Departemen Kehakiman Amerika melacak transfer dana BDNI (US$ 386,5 juta) ke rekening East Asia America Capital di Chase Manhattan Bank, New York. Tim Forensik Audit BPPN sebelumnya menemukan indikasi pidana penyaluran kredit BDNI ke perusahaan afiliasi di luar negeri US$ 607 juta.

23 Oktober
Jaksa Agung Marzuki Darusman menetapkan Sjamsul sebagai tersangka.


2001
16 April
Sjamsul menjadi tahanan Kejaksaan Agung.

29 Mei
Sjamsul diizinkan berobat ke Jepang. Namun dia tak kembali dan menetap di Singapura.

30 Juli
Laporan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan menyebutkan kerugian negara akibat penyalahgunaan BLBI oleh BDNI Rp 7 triliun.

4 September
Komite Pengawas BPPN meminta Ketua BPPN menindaklanjuti temuan tim Forsat.


2002
30 Desember
Megawati mengeluarkan instruksi presiden tentang pengampunan pengutang BLBI.


2004
Februari
BPPN ditutup, dilanjutkan Tim Pemberesan BPPN.

April
Sjamsul mendapat surat keterangan lunas dari BPPN.

13 Juli
Jaksa Agung M.A. Rachman mengeluar-kan surat perintah penghentian penyidikan (SP3) kasus Sjamsul Nursalim.


2005
28 Januari
Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh menyatakan akan mengkaji kembali lima kasus SP3, termasuk kasus Sjamsul Nursalim.

Majalah Tempo, Edisi. 18/XXXIIIIII/25 Juni – 01 Juli 2007
Read More

Tarif Bea Keluar Mineral Olahan

Leave a Comment
KOMPAS.com - Pemerintah mengeluarkan aturan bea keluar atas ekspor produk mineral yang sudah memenuhi batasan minimum pengolahan. Aturan tersebut tercantum dalam lampiran Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No.6/PMK.011/2014, yang dikeluarkan pada 11 Januari 2014 tentang Penetapan Barang Ekspor yang Dikenakan Bea Keluar dan Tarif Bea Keluar.

Dari keterangan resmi Sekretariat Jenderal Biro Komunikasi dan Layanan Informasi, Kementerian Keuangan, yang diterima Kompas.com, Rabu (15/1/2014), tarif ekspor mineral ditetapkan secara bertahap tiap semester, mulai dari 20 persen atau 25 persen sampai dengan 60 persen.

Kebijakan penaikan tarif secara bertahap itu akan berakhir hingga 31 Desember 2016, dan diharapkan menjadi instrumen untuk memantau perkembangan pembangunan pabrik pemurnian bijih minerah (smelter) secara periodik.

Berikut di bawah adalah tarif bea keluar yang diatur.

1. Konsentrat tembaga (kadar minimal Cu 15 persen)
12 Jan-30 Jun 2014: 25 persen
1 Jul- 31 Des 2014: 25 persen
1 Jan-30 Jun 2015: 35 persen
1 Jul-31 Des 2015: 40 persen
1 Jan-30 Jun 2016: 50 persen
1 Jul-31 Des 2016: 60 persen

2. Konsentrat besi (kadar minimal Fe 62 persen)
12 Jan-30 Jun 2014: 20 persen
1 Jul- 31 Des 2014: 20 persen
1 Jan-30 Jun 2015: 30 persen
1 Jul-31 Des 2015: 40 persen 1 Jan-30 Jun 2016: 50 persen 1 Jul-31 Des 2016: 60 persen

3. Konsentrat mangaan (kadar mineral Mn 49 persen)
12 Jan-30 Jun 2014: 20 persen
1 Jul- 31 Des 2014: 20 persen
1 Jan-30 Jun 2015: 30 persen
1 Jul-31 Des 2015: 40 persen
1 Jan-30 Jun 2016: 50 persen
1 Jul-31 Des 2016: 60 persen

4. Konsentrat timbal (kadar minimal Pb 57 persen)
12 Jan-30 Jun 2014: 20 persen
1 Jul- 31 Des 2014: 20 persen
1 Jan-30 Jun 2015: 30 persen
1 Jul-31 Des 2015: 40 persen
1 Jan-30 Jun 2016: 50 persen
1 Jul-31 Des 2016: 60 persen

5. Konsentrat seng (kadar minimal Zn 52 persen)
12 Jan-30 Jun 2014: 20 persen
1 Jul- 31 Des 2014: 20 persen
1 Jan-30 Jun 2015: 30 persen
1 Jul-31 Des 2015: 40 persen
1 Jan-30 Jun 2016: 50 persen
1 Jul-31 Des 2016: 60 persen

6. Konsentrat ilmenite dan titanium (kadar minimal bentuk pasir 58 persen, kadar minimal bentuk pellet 56 persen)
12 Jan-30 Jun 2014: 20 persen
1 Jul- 31 Des 2014: 20 persen
1 Jan-30 Jun 2015: 30 persen
1 Jul-31 Des 2015: 40 persen
1 Jan-30 Jun 2016: 50 persen


1 Jul-31 Des 2016: 60 persen

Sumber
Read More

Pierre Andreas Tendean

Leave a Comment
Pierre Andreas Tendean - lebih dari sekedar pahlawan nasional terganteng di Indonesia yang bisa dilihat di buku buku pelajaran sejarah, tapi salah satu perwiraintelijen dan mata mata penyusup/spy terbaik yang pernah dimiliki Indonesia. Ayahnya dokter asal Minahasa dan Ibunya asli Prancis , karena dari keluarga dokter, orangtuanya ingin Pierre jadi dokter juga. Tapi Pierre malah memilih mengabdi bergabung menjadi tentara. 

Gak banyak yang tahu kalo Kapten anumerta Pierre Tendean , ibarat kucing punya 7 nyawa pernah mengalami ancaman nyaris terbunuh berkali kali sebagai mata mata. Setelah lulus dari Akademi Militer kebetulan Indonesia sedang panas panasnya berkonfrontasi dengan Malaysia karena Indonesia menolak tegas terbentuknya negara Malaysia. Dan Pierre yang merupakan perwira intelijen TNI ditugaskan bolak balik menjadi penyusup untuk memata-matai Malaysia dan Singapura. TNI sengaja menugaskannya sebagai intel di Malaysia karena fisik Pierre yang mirip orang Eropa. Dengan rupa fisik dan wajahnya yang mirip bule dan wajah gantengnya sering disamakan dengan aktor film Robert Wagner yang lagendaris (bapaknya minahasa, ibunya asli Prancis ) 

Pierre fasih bahasa Inggris, Prancis, Jerman, Belanda jadi dengan gampang mengelabui dan sering dikira turis asal Eropa yang sedang melancong. Beberapa kali berhasil menjalankan operasi intelijen dan melakukan infiltrasi di Malaysia. Pierre muda juga menjadi pemimpin komando pasukan Elit Pasukan Katak dengan keahlian menyelam dan sembunyi di dalam laut (setara Kopasus jaman dulu, tapi masih perlu ditelaah lagi apakah yang dimaksud di sini Operasi khusus gabungn AD dengan AL. Karena Pierre adalah TNI AD bukan AL ) dalam misi khusus dengan menghancurkan obyek sarana amunisi vital di Malaysia saat Indonesia berkonfrontasi dengan Malaysia, dengan keberanian luar biasa tanpa tertangkap. 

Pernah dalam salah satu misinya yang paling berbahaya dikejar kapal destroyer tentara Inggris, Pierre berhasil kabur dengan cara membenamkan dirinya di bawah kapal nelayan sambil bergantungan tanpa menimbulkan kecurigaan saat kapal nelayan tersebut digeledah tentara Inggris. Adegan bahaya yang cuma ada di film James Bond fiktif, ternyata sudah pernah dilakoni secara nyata dalam kehidupan Pierre Tendean sebagai perwira muda TNI. Kemana mana keluar masuk Indonesia malaysia singapura 6 kali sebagai intel spionase dengan kedok 'turis bule' sampe akhirnya ketahuan dan dikejar kejar kapal AL Inggris yang lagi patroli di Malaysia dan hampir mati terbunuh, dan berhasil lolos dari kematian karena kemampuannya menyelam . Untungnya Pierre selalu bisa pulang selamat ke Indonesia, dan ketika pulang Letnan Pierre dengan prestasi langka di bidang intelijen menjadi rebutan para Jendral yang ingin menjadikannya ajudan, dan Pak Nasution yang berhasil mendapatkan Pierre.

Sayangnya .. untuk ketujuh kali berada di lubang kematian.. Pierre harus terbunuh di tangan Gerakan30 September di Lubang Buaya karena mengorbankan dirinya untuk ditangkap dengan pura pura mengaku sebagai Pak Nasution (supaya pak Nasution bisa melarikan diri dan selamat).
Walau separuh darahnya adalah Prancis, tetapi hidupnya untuk Indonesia, matinya juga untuk Indonesia. 

*Catatan saya pribadi: siapapun yang ingin mengangkat kisah Pierre ke layar film , harus hati hati melakukan riset sejarah, dan pemeran Pierre akan punya beban berat karena ganteng maksimal saja tidak cukup buat memerankan Pierre yang punya kharisma , plus figur fisik atletis Siapapun yang punya kesempatan menjadi pemeran Pierre Tendean harus bersedia olahraga , belajar menyelam, belajar bahasa Prancis dan Belanda

*Dari berbagai sumber, sebagian buku sejarah - sebagian pendapat saksi hidup yang sudah pernah melihat langsung wujud rupa fisik Letnan Pierre (setelah meninggal baru dinaikkan pangkatnya jadi Kapten anumerta) Saya masih kekurangan sumber, tapi setidaknya pernah bertemu dengan pensiunan perwira seangkatan Pierre dan Ibu Yanti Nasution yang bilang Pierre Tendean itu ganteng maksimal, saya percaya saja lah. 

*Belum bisa kasih detail tentang kehidupan pribadi personal karena masih misterius, tapi Pierre punya rencana melamar Rukmini gadis pujaan hatinya di Medan (mereka sering saling berkirim surat.. romantisnya jaman dulu masih lewat Pos) dua bulan sebelum rencana terlaksana, Pierre sudah terbunuh

Post was taken from FB
Read More

Findings Link Clinton Allies to Chinese Intelligence

Leave a Comment
By Bob Woodward
Washington Post Staff Writer
Tuesday, February 10, 1998; Page A01

Mochtar Riady and son James in 1994
(AP File Photo)
Mochtar Riady and his son, James, who control the Indonesian-based Lippo Group conglomerate and have been friends and supporters of President Clinton since his days as Arkansas governor, "have had a long-term relationship with a Chinese intelligence agency," according to an unclassified final draft of a report by the Senate committee that last year investigated campaign finance abuses.

The report was drawn from highly classified intelligence information supplied by both the CIA and the FBI that was not revealed during several months of public committee hearings last year, executive branch sources said yesterday.

The unclassified document contains few specifics on the nature of the relationship between the Riadys and Chinese intelligence. No one, including the committee, has alleged that Clinton or any of his senior White House or campaign aides were aware of any improper connection the Riadys or others may have had with the Chinese government.

Officials said that much of the specific intelligence information on which the report's conclusions are based was withheld from the document to protect sources and methods used to gather it. The report itself says that information on the Riadys was "recently acquired."

It describes their relationship with Chinese intelligence as appearing to be "based on business interests," with the Riadys obtaining Chinese assistance for international business opportunities "in exchange for large sums of money and other help."

As of two weeks ago, the 13-page report on the Chinese connection -- part of a much larger document compiled by the Senate Governmental Affairs Committee on the conclusions drawn from last year's hearings -- was the subject of bitter dispute between the committee and the CIA and the FBI, which feared it would compromise intelligence-gathering. Both agencies now have agreed to the final draft formulation, although the Justice Department has raised unspecified last-minute objections to its release.

The report describes what it calls "strong circumstantial evidence" that six individuals with strong ties to the Chinese, including the Riadys, may have funneled foreign money into political campaigns during the 1996 U.S. election cycle. It singles out one of the six, California immigration consultant and longtime Democratic fund-raiser Maria Hsia, as "an agent of the Chinese government," although it cites no specific actions taken in support of this alleged role.

Hsia's lawyer, Nancy Luque, angrily denied last night that Hsia was a Chinese agent or that she participated in any campaign fund-raising illegalities. "The allegations are false, and have been proven false. They are not under investigation by anyone, anywhere."

Concern about Chinese activities began in 1996, when the CIA determined that China, which worried that it lacked sufficient influence in U.S. politics and policymaking, planned to raise $3 million for an effort to buy influence with U.S. politicians, according to officials familiar with sensitive intelligence. These sources have said that most of the money was to be allocated to the Chinese Embassy in Washington and to various Chinese consulates across the United States.

The Washington Post first reported the investigation into the Chinese plan last February.

When the Senate committee began its hearings on the overall issue of alleged campaign fund-raising abuses last July, Chairman Fred D. Thompson (R-Tenn.) said the panel "believes that high-level Chinese government officials crafted a plan to increase influence over the U.S. political process." But by the time the hearings ended on Oct. 31, little evidence of such a plan had been publicly produced.

The report's conclusion that the Riadys and others have had ties to Chinese intelligence may focus new attention on the now 15-month-old Justice Department investigation into a wide range of allegations involving the abuse of campaign finance laws by both Democrats and Republicans. Although the overall Thompson committee report is noticeably partisan in nature and emphasizes the views of the committee's Republican majority -- committee Democrats wrote their own competing draft chapters -- the document concerning the Chinese connection appears understated and studiously nonpartisan.

The Riady relationship with Clinton stems from the early 1980s, when family patriarch Mochtar Riady's Lippo Group bought a minority interest in the Arkansas-based Worthen Bank. Riady dispatched his son James to learn the banking business in Little Rock. Soon after arriving, young Riady was introduced to then-Gov. Clinton at a Worthen luncheon.

In a 1984 interview with an Arkansas magazine, Mochtar Riady outlined his business philosophy: "Every network has to have its foundation laid on special, personal, human connections. What I am looking at is what my partners can offer in personal contacts and business connections."

The connection formed with Clinton continued after he began his run for the presidency in 1991 and was visible during the 1996 campaign. Since 1991, the Riadys and others connected to Lippo have contributed hundreds of thousands of dollars to the Democratic National Committee. The party has returned nearly half a million dollars contributed by an Indonesian couple with ties to Lippo.

James Riady attended a key Oval Office meeting on Sept. 13, 1995, when Clinton approved the transfer of former Lippo executive John Huang, who had been working in a sub-Cabinet Commerce Department position, to a DNC fund-raising post. In another Oval Office meeting with Clinton in September 1996, Riady lobbied for favorable trade relations with China.

Although it gives few details about Hsia, the report says, "The Committee has learned that Hsia has been an agent of the Chinese government, that she acted knowingly in support of it, and that she has attempted to conceal her relationship with the Chinese government. The committee has also learned that Hsia has worked in direct support of a PRC [People's Republic of China] diplomatic post in the U.S."

The report does not attempt to tie any specific Hsia fund-raising activities to the Chinese. A lengthy portion of the overall committee document, which runs some 1,500 pages, details her connection with the Hsi Lai Buddhist Temple in Hacienda Heights, Calif. Using temple monastic personnel as straw donors, the larger report alleges, Hsia "illegally laundered" more than $130,000 in political contributions to Democrats beginning in 1993, including thousands of dollars from a temple event attended by Vice President Gore in the early spring of 1996.

The overall report notes that "any link between Hsia and PRC intelligence would raise new questions about Hsia's involvement in funneling money from the Hsi Lai Temple to a number of both local and national political candidates in the United States from at least as early as 1993 through the presidential election of 1996. Were such alleged intelligence reports to be true, Hsia's long relationship to the Vice President of the United States would raise grave new questions about the extent to which Chinese intelligence operatives have been able to influence U.S. politics during the Clinton administration."

Three other individuals are named in the report, although few details are provided in support of its conclusions about them.

The report says that Ted Sioeng, a former California businessman who controls an empire worth about $500 million, "worked, and perhaps still works, on behalf of the Chinese government." The report says that $200,000 of the $400,000 given to the Democrats by Sioeng and his family was "funded by transfer from overseas accounts." The committee, which has no authority to compel production of foreign bank records, said it traced the money to "Hong Kong but no further."

Sioeng's attorneys have flatly denied the allegations.

The report touches very lightly on John Huang, who has been a focus of public attention in the campaign finance controversy since the beginning. It says the committee has "unverified information" that Huang, the former Lippo executive and Democratic fund-raiser, may have a direct financial relationship with the Chinese government. Last year, the DNC returned more than half of some $3 million Huang collected for the party, saying its origins could not be established. Huang has denied any wrongdoing through his attorney.

The sixth person identified in the report is Yah Lin "Charlie" Trie, a Little Rock friend of Clinton who on Jan. 28 became the first person indicted as part of the Justice Department investigation. Last week, he pleaded not guilty to charges of obstruction of justice and campaign finance violations.

Trie is a former Little Rock restaurateur who set up an international trading business after Clinton was elected president. The report says that some of Trie's money -- although not necessarily the more than $1.2 million in contributions to the DNC and Clinton's legal defense funds with which he was involved -- was traced from Taiwan and Cambodia, but no further.

Sources said that a significant portion of the information on which the conclusions in the report are based comes from electronic intercepts of international phone calls or other communications obtained by the National Security Agency or from FBI counterintelligence wiretaps in this country. These were the parts of the report that were deleted or watered down from the initial draft, which was classified Top Secret/codeword.

For example, the report says "PRC officials discussed financing American elections through covert means" but gives no specifics about who, when or what was discussed. Some of this information was available in classified form, but officials said it would not prove a direct link between these individuals and specific contributions.

In another reference to what sources said is sensitive intelligence, the report says, "The committee has received information that Hsia worked with Ted Sioeng and John Huang to solicit contributions from Chinese nationals in the U.S. and abroad for Democratic causes." It is illegal for foreign nationals to give to U.S. political campaigns.

Until Trie returned to this country and appeared in court last week, all six of those cited in the report had either stayed abroad or declined to testify before the committee. In addition, the report noted that China "has denied the committee's request for assistance."

In brief form, the report summarizes previously reported information about how the Chinese developed a plan in 1995 to influence U.S. politicians. By 1996, it included efforts to make political contributions in congressional elections. In June 1996, the FBI warned six senators and congressmen that they might be targeted for Chinese contributions. The FBI informed two members of the National Security Council staff, but the information was not passed to Clinton, who later expressed public irritation at the lapse.

The Thompson report describes the Chinese plan as "a broad array of Chinese efforts designed to influence U.S. policies and elections through, among other means, financing election campaigns." The report says the information that the Chinese wanted to influence the 1996 presidential contest is "fragmentary" but cites no example.

In a summary, the report says: "Illegal foreign contributions were made to the DNC and . . . these contributions were facilitated by individuals with extensive ties to the PRC."

The report mildly criticizes the Justice Department for "a failure to share relevant classified information," as well as for delays and a lack of coordination between the FBI divisions and the Justice Department.

The report says the deletions by the U.S. intelligence agencies were justified to protect sources. "That protection is a legitimate concern," the report says, "but it has come at the cost of curtailing public knowledge and debate."

Researcher Jeff Glasser contributed to this article.
Source
Read More

Diplomasi Dansa China Berbuah Gas Murah

Leave a Comment
Ngeri Ngeri Sedap, mungkin itulah pernyataan yang ada ketika melihat judul berita ini. Bahwa judul itu sebenarnya provokatif memang ya… Namun malah bikin kita sadar siapa sebenarnya Megawati? Yang harus bertanggungjawab atas semua yang terjadi atas sejumlah asset yang jual oleh Megawati pada saat menjadi Presiden tidak lepas dari soal usungan dia ke Jokowi saat ini.
Dari soal Indosat sampai Gas Tangguh, dari Sukhoi sampai penjualan VLCC, dan kebijakan yang absurd memberikan pengampunan kepada pengemplang BLBI melalui Release and Discharge. Khusus yang terakhir BLBI mereka kini berkongsi dukung Jokowi maju di Pilpres 2014.
Ketua Umum PDI Perjuangan (PDIP) Megawati Soekarnoputri dinilai sebagai pihak yang paling bertanggung jawab atas penjualan Indosat sebagai aset negara kepada pihak asing.
Penjualan aset negara kepada pihak asing sebagai pelanggaran yang luar biasa. “Indosat sebagai aset negara itu kesalahan fatal. Lalu siapa yang harus bertanggung jawab, ya pemerintahan (Megawati) saat itu," kata Fadli Zon  Selasa (24/6/2014) usai debat Capres.
Penjualan aset negara kepada pihak asing sama saja melanggar UUD 1945. Aset negara untuk kesejahteraan rakyat. Itu adalah amanat konstitusi kita di pasal 33 UUD 45, tegasnya.
Seperti diketahui, ketika debat capres, Jokowi mengatakan Indosat merupakan aset strategis negara. Namun Indosat perlu dijual karena kondisi perekonomian saat itu tengah krisis

Gas Tangguh yang dijual murah berkat ajojing alias dansa Megawati dengan Wakil Presiden China Xi Jinping dengan Presiden RI saat itu

Soal Gas Tangguh yang dijual murah berkat ajojing alias dansa Megawati dengan Wakil Presiden China Xi Jinping dengan Presiden RI saat itu, Megawati Soekarnoputri dengan harga harga murah untuk gas alam dalam kontrak LNG Tangguh.


Ada pernyataan Xi Jinping yang disampaikan Wapres Jusuf Kalla saat itu dimana diberi kesempatan Presiden Yudhoyono menjelaskan proses renegosiasi kontrak LNG dengan China di hadapan sidang kabinet paripurna di Kantor Presiden di Kompleks Istana di Jakarta, Kamis (28/8) beberapa waktu lalu.
"Itu Presiden Indonesia yang minta," kata Kalla menirukan pernyataan Xi Jinping saat mereka bertemu di Beijing pekan lalu.
"Benar, karena kita ini kan bersahabat, tapi mari kita bicara jangka panjang. Kalau kita bicara jangka pendek, OK proyek ini selesai. Bisa-bisa ini tidak akan jalan," tambah Kalla, mengulang percakapannya dengan Xi waktu itu.
Penjelasan Kalla di hadapan sidang kabinet paripurna ini terkait rencana pemerintah untuk melakukan renegosiasi harga proyek LNG Tangguh.

Harga gas alam dalam kontrak LNG ini dinilai sangat murah sehingga jika pada Oktober mendatang produksi gasnya sudah di ekspor ke China, maka Indonesia akan mengalami kerugian.
Menurut Kalla --waktu itu--, wapres China seorang yang sangat terbuka sehingga mau diajak berdiskusi. "Coba lihat keadaan. Masak Anda akan membeli gas negeri kami dengan harga seperdelapan dari harga dunia sekarang ini," kata Kalla lagi menirukan jawabannya kepada Xi.
Oleh karena itu, tambah Kalla, pemerintah akan mengajukan harga dan formula, dan latar belakang baru untuk merevisi kontrak LNG Tangguh.
Wapres Kalla menyatakan di akhir pertemuannya dengan wapres China, keduanya sepakat untuk membentuk tim negosiasi kembali. "Dan kami akan bertemu untuk merundingkan kembali kontrak itu," kata Kalla.

Lebih jauh, mengambil hikmah kontrak LNG yang kontroversial ini, wapres minta tim yang akan dibentuk untuk menegosiaasi kembali kontrak itu tidak tergesa-gesa mengambil keputusan apalagi jika tanpa dasar, demikian hal ini dilansir dari Kompas Kamis, 28 Agustus 2008 Yang patut dicatat adalah yang kini ada kabar gembira, bahwa Ladang gas Tangguh yang merupakan sebuah ladang gas alam yang terletak di Kabupaten Teluk Bintuni, Provinsi Papua Barat, Indonesia.
Ironisnya, Gas Tanggih ini mengandung lebih dari 500 miliar m³ (17 Tcf) cadangan gas alam terbukti, dengan taksiran cadangan potensial mencapai lebih dari 800 miliar m³ (28 Tcf).
Seperti diketahui Ladang gas Tangguh dikembangkan oleh sebuah konsorsium beberapa perusahaan internasional, yang dipimpin oleh British Petroleum (37% saham), CNOOC (17%), dan Mitsubishi Corporation (16,3%). Mitra-mitra yang lebih kecil adalah perusahaan-perusahaan Jepang, yaitu Nippon Energy, Kanematsu,Sumitomo, dan Nissho Iwai.
Ladang ini ditemukan pada dasawarwa 1990-an dan mulai berproduksi dimulai pada bulan Juni 2009. Gas alam yang diekstraksi dari ladang akan dicairkan untuk membentuk gas alam cair (LNG - liquified natural gas) yang akan diangkut ke para konsumen di Asia, terutama Cina, Korea Selatan, dan Jepang.
Projek ini diharapkan membolehkan Indonesia untuk tetap menjadi pemasok penting bagi pasar gas alam dunia, sebagai pengganti bagi menyusutnya produksi Ladang gas Arun di Lhokseumawe, Aceh, Sumatera.
Ada kabar gembiranya, pada saat menjual gas Tangguh dengan harga USD 3,5 per mmbtu sudah sesuai dengan mekanisme pasar. Selain itu, saat itu, kata dia, pemerintah juga kesulitan menjual gas Tangguh. Pemerintah Megawati menjual gas ke China dengan harga USD 3,5 per mmbtu.
Dalam perjanjian harga tersebut tetap, tanpa mengikuti harga gas dunia. Ini jelas merugikan negara. Saat itu kabarnya Megawati dan para pejabat di China punya long history, kemudian dibuat keputusan bahwa satu untuk menghindari volatilitas penerimaan negara harga gas tidak dengan floating tapi dengan harga yang tetap. “Sehingga jika di kemudian hari kebijakan itu bermasalah, lanjut dia, hal itu adalah tanggung jawab pemerintah selanjutnya. Sebab Mega, kata Ekonom Megawati Institute Iman Sugema melihat kasus penjualan gas dari lapangan Tangguh seperti dikutip Merdeka.com 5 April 2014.

Penjualan gas dari Lapangan Tangguh di Papua telah dilakukan sejak 2002, ke Fujian di Tiongkok dan Sempra di Amerika Serikat (AS). Gas ini memang dijual murah dan sampai masa kontrak hingga 2034. Timbul sejumlah tanya kenapa harganya murah dan diharapakan bisa Renegoisasi. Namun Regnegosiasinya itu gagal sampai tiga kali. Karena China besikukuh, Dan angin segar berhembus dari Menteri ESDM Jero Wacik pada hari Bhayangkara (1/7/2014) yang menceritakan sejarah penjualan gas yang harganya disepakati US$ 2,4 per mmbtu di 2002 lalu. Harga ini tidak bisa dinaikkan meski harga minyak sudah melambung tinggi. "Tangguh di Papua Barat itu adalah gas besar sekali. Diolah, dibor disitu oleh operatornya adalah BP (British Petroleum). Itu kontrak yang terjadi tahun 2002. Jumlahnya 40 kargo per tahun. Kontraknya berlaku sampai 2034. Jadi sampai dengan tahun 2034, itu kontrak Tangguh," kata Jero di Kantor Kementerian ESDM, Jakarta, Selasa (1/7/2014).

Adapun dalam kontrak tersebut, lanjut Jero, hasil dari produksi dua blok tersebut adalah untuk kepentingan ekspor yakni kepada Fujian dan Sempra. "Ada dua blok, itu kontraknya seluruhnya diekspor, 100% ekspor. Sebagian ke Fujian, sebagian ke Sempra, Amerika Serikat. Jadi 0% yang untuk domestik," lanjut Jero. Jero menyebutkan, kala itu harga gas ekspor yang ditetapkan mengacu pada Japan Crude Cocktail (JCC) atau harga acuan minyak Jepang. Namun demikian, masalah timbul lantaran pada penetapan harga acuan tersebut, dipatok harga maksimal JCC US$ 26 per barel.
Alhasil, harga tersebut bertahan selama masa kontrak, sehingga dianggap kemurahan. Apalagi harga JCC semakin meningkat. "Rumusnya waktu itu, 5,25% x JCC + 1,35 (FOB/free on board) itu harga di Tangguh.

JCC itu harga minyak mentah di Jepang yang jadi patokan kita waktu itu. Nah, harga JCC-nya dipatok maksimum US$ 26 per barel tidak boleh lebih. Itu yang menyebabkan, harga gas kita ke Fujian dari Tangguh jadi terpatok. Dengan rumus tadi, maka harganya menjadi US$ 2,7 per mmbtu dan tidak bisa naik," papar Jero.

Jero mengatakan, proyek LNG Tangguh, Papua ini disusun di tengah berbagai keterbatasan saat itu, di mana Indonesia tidak dalam posisi tawar yang baik dalam menetapkan rumusan dan harga keekonomian gas yang diekspor dari blok migas tersebut. "Kenapa harganya tidak bisa naik, karena kontraknya bunyinya seperti itu. Saya yakin situasi saat itu juga sulit. Makanya bunyi kontraknya seperti itu. Jadi jangan menyalahkan masa lalu," tegas Jero Melihat kondisi tersebut, diakui Jero, Pemerintah sendiri bukan tanpa usaha untuk memperbaiki harga sehingga posisi tawar Indonesia menjadi lebih baik.

"Tahun 2006 diadakan renegosiasi, dapat sedikit naik, harga JCC-nya dinaikkan menjadi US$ 38 per barel. Dengan rumus itu, maka harga gas kta adalah US$ 3,3 per mmbtu. Itu tahun 2006.
Kemudian tahun 2010, sempat diadakan renegosiasi tapi tidak berhasil. Nah, di 2011, saya menjadi Menteri ESDM bulan Oktober. Salah satu tugas saya memperbaiki lagi harga.
Nah Loh….berhasilkah Jero? Salah satu tugas saya memperbaiki lagi harga ke Fujian, kata Jero. "Bapak Presiden ada pertemuan dengan Presiden Tiongkok. Bapak Presiden ketika itu menyampaikan agar perjanjian yang di Fujian untuk direnegosiasi, masa harga (minyak) dunia sudah US$ 100 per barel, di Fujian masih US$ 38 per barel. Itu kan tidak fair, tidak adil.
Dan yang terbaru kemarin kita berhasil teken renegosiasi di 20 Juni 2013," jelasnya. Kabarnya seperti dilansir Situs Kepresidenan, Pemerintah Indonesia minta harga jual Gas Tangguh tersebut mendekati harga pasar, setidaknya pada kisaran 8 hingga 9 dolar AS per kubik feet.

Dengan harga pada kisaran tersebut, pemerintah akan mendapat pemasukan sebesar Rp 6,2 triliun. Kontrak penjualan Gas Tangguh di Papua dengan RRT pertama kali dilakukan pada era Presiden Megawati, dengan harga 2,4 dolar AS. Harga ini dinilai para pengamat terlalu murah. Tahun 2006, pemerintah merenegosiasi harga tersebut menjadi sekitar 3,4 dolar AS dengan kesepakatan untuk meninjau kembali setiap empat tahun. Saat ini, harga gas alam cair (LNG) di pasar dunia ada pada kisaran 9-13 dolar AS per MMBTU.
Read More

Strategi tipu-tipu ala Kartika Djoemadi kembali ditiru pendukung Ahok

Leave a Comment

JAKARTA, MEDIAJAKARTA.COM- Strategi tipu-tipu ala Kartika Djoemadi yang digunakan pada Pemilu Presiden 2014 lalu, kembali ditiru pendukung Ahok.
Saat itu, Kartika Djoemadi, Koordinator Jokowi-Ahok Social Media Valunteers (JASMEV) dinilai sudah melecehkan Umat Islam. Menurut Tokoh Muda Muhammadiyah Mustofa Nahrawardaya, Kartika sudah melakukan penipuan yang sudah termasuk penistaan agama. Kartika menipu karena berpura-pura menjadi Muslimah, padahal, Kartika adalah seorang penganut Katolik.
Pola itu kini kembali muncul atau ditiru oleh pendukung Basuki Tjahaja Purnama yang biasa disapa Ahok, yang sudah menyatakan akan kembali mencalonkan diri pada Pilkada DKI 2017 mendatang melalui jalur independen.
Pendukung Ahok yang bergabung dalam Teman Ahok kini tengah berupaya mengumpulkan KTP warga Jakarta agar Ahok bisa lolos menjadi calon gubernur pada Pilkada DKI 2017 mendatang melalui jalur independen. Diwaktu bersamaan, ada juga pendukung mulai melakukan kampanye untuk menarik simpati warga DKI Jakarta yang beragama Islam dengan mengaku dirinya seorang Muslim dan sangat gencar berkampanye di social media.
Tagline yang digunakan oleh tim kampanye Ahok adalah dengan nama “SAYA MUSLIM, SAYA DUKUNG AHOK”. Bahkan untuk meyakinkan, para tim kampanye Ahok ini sengaja mengenakan jilbab. Selanjutnya foto-foto mereka dishare di social media Facebook dan Twitter
Namun strategi tipu-tipu dengan berpura-berpura sebagai muslim, kembali berhasil dibongkar oleh pegiat social media Facebook bernama Andika Toay PS dan Vian Faldyan  (12/3/2015), yang kemudian menshare foto-foto mereka disalah satu group facebook, yang kemudian mendapat perhatian dan komentar para nitizen.
“Jasmev Kartika Jumadi ‘Kembali Beraksi’……!,” tulis M Yusuf yang ikut mengomentari di social media Facebook.
Danny Abdul Jabbar : “Bagaimanapun yg namanya kebohongan, pasti akan kelihatan. Dari Kerudung sama kertasnya juga sdh kelihatan bahwa Ahok Pendusta,”
Hal senada juga disampaikan Rony Sjm : “bgitulah orang2 yg curang,, segala cara dipake, segala dusta dihalalkan,”
Us Hidayat Katik Marajo turut memberikan komentar : KATANYA JANGAN JUAL JUAL AGAMA…. INI APA NAMANYA COBA.. DEMI MENCARI SIMPATI, NON MUSLIM PAKAI JILBAB N TULISAN MACAM ITU… MENYEDIHKAN……….. AGAMA PUN ORANG PUN DIJUAL AMA TEMAN AHOK TAIKERS…..
Danny Abdul Jabbar: “Dia bukan muslim, tapi menyamar sebagai muslim,”
Aan Alexandra menilai tim pendukung Ahok sudah kehabisan akal sehingga menghalalkan segala cara termasuk berpura-pura atau mengaku sebagai seorang Muslim: “Kalo sudah kehabisan pikiran gak usah bwa2 islam buat cari nafkah..kampungan!!!.”
Sementara Rudy Haryanto berpesan, jangan sampai umat Islam Jakarta terpecah seperti Pilpres 2014 lalu karena kerjaan orang-orang yang tidak bertanggungjawab.”Umat islam skrg jgn ampe bse ke pecah deh….nti kejadiannye kaye pilpres/pilgub kmren deh.”
Hingga berita ini ditulis, belum terungkap identitas mereka, tapi foto-foto mereka sudah tersebar di social media
Perhatikan foto-foto mereka berikut ini :
Sumber : http://webcache.googleusercontent.com/search?q=cache%3Amediajakarta.com%2Fstrategi-tipu-tipu-ala-kartika-djoemadi-kembali-ditiru-pendukung-ahok%2F&oq=cache%3Amediajakarta.com%2Fstrategi-tipu-tipu-ala-kartika-djoemadi-kembali-ditiru-pendukung-ahok%2F&aqs=chrome..69i57j69i58.2687j0j4&sourceid=chrome&es_sm=93&ie=UTF-8
Read More

Jaman Pembantu Rumah Tangga Milyuner Dan Trilliuner

Leave a Comment
Judul di atas kedengarannya sangat sinis dan provokatif. Apakah bisa, seorang pembantu menjadi milyuner, tak perlulah menjadi trilliuner? Dan kalau seorang pembantu adalah trilliuner maka majikannya harus seorang zillioner agar supaya bisa membayar gaji pembantu rumah tangganya itu. Apakah bisa terjadi? Kalau sudah menjadi trilliuner, kenapa masih menjadi pembantu. Bukankah seharusnya dia bisa punya banyak pembantu rumah tangga?

Tentu saja pembantu rumah tangga bisa saja seorang trilliuner. Kata milyuner atau triluner rupiah tidak ada kaitannya sama sekali dengan tingkat kemakmuran atau status ekonomi seseorang. Seorang pembantu rumah tangga di Jakarta tahun 2009, bergaji rata-rata Rp 600.000 per bulan. Ini kalau dikurskan ke rupiah ORI (oeang Repoeblik Indonesia, tahun 1946) maka sama dengan RP 6 milyar ORI. Kalau uang republik tidak pernah mengalami penyunatan angka nol, maka di republik ini para pembantu rumah tangga sudah menjadi milyuner. Ini terjadi dalam kurun waktu 64 tahun. Jadi bukan tidak mungkin dalam kurun waktu 4 dekade lagi, target pembantu bergaji Rp 1 milyar (uang Orba – yang berlaku dari 1965 sampai sekarang).

Kita tidak perlu kecewa karena republik ini hanya menunda pencetakan milyuner-milyuner baru yang terlalu cepat. Kita harus sabar sedikit. Pada saatnya nanti status milyuner akan dimiliki pembantu rumah tangga. Jika kecepatan pertumbuhan uang masih seperti sekarang, maka cita-cita itu akan tercapai pada dekade 2060an. Akan tetapi sebelum status milyuner, para pembantu rumah tangga ini harus melewati tahap jutawan dulu. Dan ini akan dilampauinya setelah tahun 2015 - 2020. Dan status trilliuner bisa dicapai para pembantu rumah tangga pada tahun sekitar 2110. Itu kalau republik ini masih berdiri.

Mungkin pembaca sekalian sulit untuk mempercayai ramalan pembantu milyuner atau trilliuner. Ketidak percayaan ini sama saja kalau nenek saya bangun dari kubur dan melihat pembantu-pembantu sekarang ini, tahun 2010, punya gaji Rp 600.000 per bulan. Dia akan terkaget-kaget melihat gaji setinggi itu. Ketika mereka masih hidup, hanya dalam bilangan ribu rupiah.

Ketika De Javasche Bank didirikan tahun 1828, uang yang diedarkannya hanya 1,12 juta gulden. Kalau anda jutawan waktu itu, maka anda punya De Javasche Bank. Dengan pernyataan ini anda mungkin sudah bisa mengerti bahwa adanya pembantu milyuner itu bisa menjadi kenyataan di masa datang. Uang yang diedarkan De Javasche Bank waktu itu adalah uang kertas dengan garansi perak. Pada waktu itu sudah ada bermacam-macam koin perak dan emas lain yang beredar. Selanjutnya sampai tahun 1922, De Javasche Bank mengedarkan 9 juta gulden. Tentunya dengan tambahan garansi perak atau kolateral. Pertumbuhan uang selama hampir seabad, antara tahun 1828 sampai 1922 kalau dihitung hanyalah 2,2% “saja” per tahun. Adanya kata “saja” adalah untuk memberikan penekanan, karena adanya perbedaan prilaku antara penjajah Belanda dan pemerintah Republik Indonesia merdeka.

Kita lupakan periode jaman penjajahan Jepang yang kacau itu dan datanya pun kacau. Kita maju ke periode berikutnya yaitu periode kemerdekaan. Antara jaman Kemerdekaan, jaman Gunting Sjafruddin sampai jaman Orde Lama, inflasi uang giral dan kartal (M1) rata-rata adalah 62,2%. Pada tahun 1950, uang kartal dan giral yang tersisa dari keputusan Gunting Sjafruddin adalah Rp 4,5 milyar. Dan 9 tahun kemudian menjadi Rp 5.2 milyar (lihat Grafik VII - 3). Jaman ini diakhiri dengan penyunatan satu angka nol yang dimiliki rupiah. Rp 1000 menjadi Rp 100.

Kemudian jaman Orde Lama Sukarno dari tahun 1959 - 1966. Dibandingkan dengan penjajah Belanda, ternyata bapak pendiri negara republik ini sangat suka mencetak uang. Belanda hanya 2,2% pertahun dan bapak pendiri negara republik ini 104,2%. Inflasi rata-rata selama periode ini adalah 104.2%. Inilah jaman Sosialisme Pancasila, Marhaenisme. Uang dicetak untuk disosialkan (apapun arti disosialkan). Sampai akhirnya terlalu banyak jutawan. Rupanya penerus Sukarno, yaitu Suharto merasa bahwa di Indonesia terlalu banyak jutawan kere, kemudian menyunat 3 nol dari rupiah diakhir tahun 1965. Dan uang Rp 1000 menjadi Rp 1.
Grafik VII - 3    Jumlah uang rupiah kartal dan giral (M1) yang beredar

Bapak pembangunan Indonesia, Suharto, yang agak kapitalis. Tepatnya menerapkan kroni-kapitalisme dan sosialisme-hutang yang tidak seganas pendahulunya yang sosialis Pancasila dalam mencetak uang.  Inflasi M1 rata-rata jaman Orde Baru, dari Repelita I (Rencana Pembangunan Lima Tahun I - nama program pembangunan di jaman Suharto) sampai era lepas landas (istilah Suharto untuk program pembangunan 5 tahunannya yang terakhir) dan nyungsep (1966 – 1998), hanyalah 36.2%. Dihampir masa pemerintahan Orde Baru, kroni kapitalisme diterapkan. Hanya dibagian akhir era Suharto, sosialisme hutang diterapkan, dimana hutang-hutang para kroni kapitalis dijadikan beban sosial dengan menstimulasi hiper-inflasi. Pada krisis moneter 1998, inflasi ditinggikan supaya nilai riil hutang yang dimiliki para konglomerat kroni kapitalis menjadi turun. Mekanisme sosialisme hutang otomatis berjalan. Nilai riil tabungan masyarakat (sosial) tergerus. Karena pada dasarnya inflasi adalah memindahkan kekayaan riil penabung ke debitur (penghutang).

Jaman Reformasi agressifitas politikus dalam hal mencetak uang untuk sementara mereda. Inflasi M1 hanya sekitar 16% saja. Ini berarti setiap 4-5 tahun harga-harga akan naik 2 kali lipat. Sekarang bayangkan, bahwa setiap 4-5 tahun gaji pembantu naik menjadi 2 kali lipat. Bisakan tingkat milyuner dicapai ditahun 2065 dan tingkat trilliuner dicapai di tahun 2100an?

Untuk menghitungnya mudah saja. Setiap 5 tahun gaji dikalikan 2 saja. Sehingga kalau tahun 2010 gaji pembantu rumah tangga adalah Rp 600.000, maka tahun 2015 akan menjadi Rp 1.200.00. Dan tahun 2020 menjadi Rp 2.400.000. Kemudian tahun 2025 Rp 4.800.000. Dan seterusnya sehingga menjadi Rp 614 juta di tahun 2060; Rp 1,23 milyar di tahun 2065 dan Rp 1.2 trilliun di tahun 2115.

Ini tidak berarti pembantu menjadi makmur semua. Karena harga-harga juga naik. Buktinya, harga emas (uang sejati) bergerak secara tandem dengan jumlah uang rupiah yang beredar (lihat Grafik VII - 4) Padahal harga emas selalu seiring dengan harga kambing sejak jaman Romawi, jaman nabi Muhammad dulu. Artinya nilai rupiah terus turun sejalan dengan bertambahnya pasokan uang rupiah.

Grafik VII - 4    Supply uang kartal dan giral (M1) sejalan dengan harga emas
Hanya dalam waktu 6,5 dekade semenjak kelahirannya, nilai riil rupiah hanya tersisa 0,0000018% saja.  Perhatikan ada 5 angka nol di belakang desimal. Dibandingkan dengan rupiah tahun 1946, nilai rupiah sudah tergerus hampir semuanya, tepatnya 99,9999982%. Demikian parahnya, untuk mengikuti kemerosotan nilai rupiah harus digunakan grafik semilogaritmik (Grafik VII - 5). Ini adalah cara untuk memperlihatkan penurunan sampai beberapa desimal.
Grafik VII - 5    Penurunan nilai riil rupiah

Sejalan dengan menurunya nilai rupiah dan dollar Amerika Serikat maka angka-angka kemakmuran nominal yang disajikan oleh badan-badan resmi menjadi tidak relevan. Contohnya saja GDP, apakah itu dalam bentuk GDP nominal (dalam US$) atau Purchasing Power Parity (dalam 1990US$), nampak sangat aggressif dibandingkan dengan GDP per kapita Indonesia dalam emas (Grafik VII - 6). GDP nominal dan PPP nampak mengarah untuk naik terus. Tetapi GDP per kapita Indonesia dengan patokan emas dari awal jaman Orde Baru sampai tahun 2010, tidak logaritmik kenaikannya.
Grafik VII - 6    GDP per kapita Indonesia dalam berbagai tolok ukur

Grafik VII - 7 adalah untuk memperjelas Grafik VII - 6, dimana GDP\PPP ditiadakan. GDP dalam US dollar dan dalam gram emas, dimulai pada level yang sama pada tahun 1967, tahun di awal Orde Baru. Nilainya di sekitar 50-60. Empat dekade kemudian, GDP Indonesia per kapita dalam US dollar naik di atas $ 2000 atau naik 400 kali. Sedang dalam gram emas masih bertengger tidak lebih dari 70 gram (Grafik VII - 8). GDP nominal ini dalam dollar Amerika Serikat. Kalau dalam rupiah, kenaikkannya ratusan kali lebih dahsyat lagi. Kalau dilihat kenyataan, GDP dengan tolok ukur emas lebih mencerminkan kenyataan. Misalnya, ayah saya dulu punya rumah dengan luas tanah/bangunan 300m/150m. Yang saya milikipun kurang lebih demikian. Apa yang dulu rata-rata orang punyai, sekarangpun demikian. Tentu saja antara jaman dulu dan sekarang tidak selalu sama, tetapi selalu ada padanannya. Misalnya radio, tv hitam-putih padanannya tv plasma, atau komputer; gramaphone dengan entertainment center; video dengan DVD. Teknologi memungkinkan manusia memperoleh barang-barang dan lebih baik dengan harga yang semakin murah seiring dengan waktu. Tetapi barang-barang yang sudah tidak bisa diup-grade lagi, seperti ayam, telur, kambing, hewan ternak, hasil pertanian, harganya naik seiring dengan inflasi uang yang diedarkan.

Kenaikan GDP/PPP dari $1.000 tahun 1967 ke $4.000 tahun 2009 tidak berarti rumah orang sekarang berukuran 4 kali lebih besar dari pada rumah-rumah orang tahun 1967. Kalau anda bertanya, mewakili apakah GDP/PPP itu? Entah lah. Tanyakan kepada ahli statistik. Kalau anda bertanya seperti itu, kemungkian tanggapannya adalah sangat membingungkan sampai akhirnya anda menyerah. Demikian juga makna jutawan, milyuner, trilliyuner atau zillioner,........tidak ada maknanya selama uang masih bisa dicetak. Untuk memahami hal ini, anda harus membaca lagi bab Pajak, Pungutan, Pemerasan Dan Inflasi.

Mungkin mengatakan bahwa milyuner, trilliyuner atau zillioner, tidak ada maknanya selama uang masih bisa dicetak, tidak sepenuhnya benar. Secara riil bisa saja mereka ini kere, tetapi dari namanya, milyuner, trilliuner atau zillioner kere ini akan layak dipajaki.
Grafik VII - 7    GDP per kapita Indonesia dengan tolok ukur US dollar dan emas
Grafik VII - 8    GDP per kapita Indonesia dengan uang sejati/emas sebagai tolok ukur
Sumber : http://ekonomiorangwarasdaninvestasi.blogspot.co.id/2014/10/no53-penipu-penipu-ulung-politikus-dan.html


Read More
Diberdayakan oleh Blogger.