Mengintai Masjid: Fasisme dan Ambisi Jokowi

Leave a Comment
Berric Dondarrion

Ada sebuah kalimat bijak China yang kira-kira berbunyi bahwa kekuasaan itu seperti sebilah pedang, dan agar dapat digunakan tanpa melukai diri sendiri dan/atau orang lain maka pedang tersebut membutuhkan "gagang" dan "sarung" untuk menyarungkan pedang (scabbard); dan dalam hal ini orang yang memiliki kekuasaan wajib memiliki "moralitas" dan "pengendalian diri" sehingga dia tidak menyalahgunakan kekuasaan yang dapat melukai diri sendiri dan orang lain.

Sayangnya Jokowi tidak memiliki kedua prasyarat memegang kekuasaan, yaitu moralitas dan pengendalian diri. Dengan menyimak perilaku Jokowi selama di Jakarta sampai menjadi capres hari ini dia sering melakukan berbagai perbuatan yang tidak bisa dianggap bermoral dan menunjukan dia tidak bisa mengendalikan dirinya, terutama mengendalikan diri ketika kesempatan bagi dirinya untuk menjadi capres terbuka lebar dalam waktu singkat.

Kita ambil contoh perbuatan Jokowi yang sulit dikatakan bermoral adalah beberapa hari terakhir yang mencatut nama tokoh-tokoh atau kelompok masyarakat dan diklaim sebagai telah memberikan dukungan kepadanya padahal hal tersebut tidak benar. Tokoh-tokoh atau kelompok masyarakat dimaksud misalnya: istri Said Aqil Siroj; Santri Gontor; Iwan Fals; Dahlan Iskan; Din Syamssudin; dan tokoh-tokoh lain.

Perbuatan lain yang dapat membuat kita semua mempertanyakan moralitas seorang Jokowi adalah keputusannya untuk sebagaimana disampaikan Eva Kusuma Sundari, menjalankan aksi intelijen terhadap seluruh masjid Indonesia dengan tujuan mengawasi dan merekam setiap kotbah yang sedangkan disampaikan untuk "mencari kotbah yang dianggap sebagai kampanye hitam".

Pengawasan terhadap masjid sebenarnya sudah dilakukan oleh Orde Baru ketika CSIS dan Benny Moerdani berkuasa, dan pengulangan metode yang sama oleh Jokowi tidak mengherankan mengingat dia didukung oleh orang-orangnya Benny Moerdani seperti Hendropriyono; Agum Gumelar; Wiranto; Luhut Panjaitan; Sutiyoso; Try Sutrisno; Ryamizard Ryacudu dan lain-lain. Bukankah saya sudah pernah mengatakan bahwa jenderal yang mendukung Jokowi adalah kelompok yang pernah mencoba mendeislamisasi Indonesia namun usaha mereka digagalkan Prabowo sehingga mereka masih dendam kepada Prabowo sampai hari ini; dan kebijakan mengawasi masjid tersebut adalah bukti kesamaan PDIP sekarang dengan Orde Baru, bahkan bisa dibilang PDIP mewarisi semua sisi terburuk dan terkelam dari Orde Baru sampai tahun 1990, khususnya militerisme; kekerasan dan Anti Islam yang melihat para khotib sebagai penyebar permusuhan, dan kebencian serta biang terorisme.

Tidak mengherankan tapi bukan berarti kita tidak perlu mengecam kebijakan Jokowi itu, dan dalam hal ini yang menjadi masalah adalah bagaimana bisa tim sukses capres tidak malu belagak seperti Opsusnya Ali Moertopo yang kemudian diwariskan kepada Benny Moerdani atau polisi dengan melakukan operasi intelijen terhadap aktivitas warga masyarakat? Tidak masuk akal dan tidak bisa diterima akal sehat. Bagaimana bila mereka berkuasa nanti? Bisa-bisa fasisme militer sipil ala pemerintahan Megawati akan kembali; dan sipil yang bertingkah seperti militer adalah jauh lebih berbahaya dari militer yang sesungguhnya karena mereka berperilaku seperti militer namun tidak melatih kedisiplinan diri ala militer.

Di kalangan masyarakat kecaman dan protes terhadap keputusan Jokowi tersebut sudah mulai bermunculan, antara lain seperti disampaikan oleh Ketua Umum Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah, Saleh Daulay yang menyatakan sebagai berikut ini:

"Tindakan pengawasan masjid ini, akan menimbulkan kesan adanya fragmentasi sosial di tengah-tengah masyarakat. Selain itu, bisa juga menimbulkan kesan seolah-olah para khatib selama ini dijadikan sebagai agen politik dari suatu kepentingan politik tertentu. Padahal, fungsi masjid adalah tempat suci dimana orang berupaya mendekatkan diri pada sang pencipta. Selain itu pengawasan ini sama saja dengan melakukan aksi sweeping terhadap khotbah-khotbah di masjid. Saya khawatir, ini bisa dilihat masyarakat sebagai upaya mengembalikan rezim otoriter dengan masuknya intervensi ke rumah-rumah ibadah."

Berita ini sungguh mengerikan dan membuat bulu kuduk saya berdiri. Saya tidak dapat membayangkan bagaimana jadinya Indonesia bila Jokowi berkuasa bila baru mencalonkan diri saja dia sudah otoriter dan mau membungkam kebebasan berpendapat. Ingat bahwa Jokowi memiliki pasukan di dunia maya untuk membungkam informasi yang dipandang bisa merugikan dirinya.

Kritikan terhadap moralitas Jokowi juga datang seorang wartawan senior bereputasi nasional, Nanik S. Deyang mantan tim sukses Jokowi yang menyebrang ke kubu Prabowo karena melihat dengan mata dan kepala sendiri karakter Jokowi yang sebenarnya, misalnya Jokowi sejak dilantik sebagai gubernur sampai nyapres tidak pernah mengucapkan terima kasih kepada Prabowo padahal adalah Prabowo yang berusaha keras membujuk Megawati untuk mencalonkan Jokowi sebagai gubernur DKI Jakarta. Perbuatan Jokowi ini jelas bertentangan dengan prinsip tata krama yang dipegang teguh orang Jawa yaitu mikul dhuwur mendhem jero. Nanik bahkan menyatakan dengan tegas bahwa Jokowi adalah orang yang minus moral dan tidak memiliki hati nurani.

Selanjutnya melalui akun facebooknya, Nanik S. Deyang juga mengungkap bahwa satu bulan sejak dilantik menjadi Gubernur DKI atau Desember 2012, Jokowi sudah menunjukan nafsu besar menjadi Presiden. Pernyataan Nanik di akun facebooknya tersebut antara lain:

"Monorel dipaksakan supaya dalam setahun pemerintahan proyek itu ada dan lihatlah sekarang mangkrak karena ketidakmampuan investor yang ditunjuk. Lihat itu proyek Market Night, beritanya sampai mana-mana sampai ada satu media besar yang mengulas satu halaman apa hasilnya hanya berlangsung beberapa malam saja."

Nanik juga membuka komentar Jokowi terkait MRT yang mangkrak yaitu:

"Sudahlah yang penting saya dukir-dukir tanahnya, yang penting kelihatan pembangunannya dimulai."

Kesaksian Nanik S. Deyang ini adalah kunci membuktikan apa yang sudah diketahui banyak orang selama ini bahwa yang dilakukan Jokowi satu setengah tahun di Jakarta adalah pencitraan guna mendongkrak popularitasnya demi menjamin tiket pencapresan dapat diraih. Sistem pencitraan Jokowi adalah: "yang penting kelihatan pembangunan dimulai; yang penting kelihatan kerja." Kata kunci disini adalah "kelihatan", kelihatan siapa? Tentu saja kelihatan media massa nasional dan kelihatan oleh masyarakat. Jadi yang dipentingkan Jokowi bukan apakah pembangunan benar berjalan atau tidak, yang penting kelihatan ada pembangunan.

Nanik S. Deyang tidak melakukan fitnah karena semua, catat, semua kebijakan Jokowi dilakukan agar programnya "kelihatan berjalan; kelihatan ada" tanpa mempedulikan kesiapan pelaksanaan program itu sendiri yang akhirnya justru merugikan masyarakat banyak. Kita lihat beberapa "program Jokowi":

- KJS-KJP diterbitkan secara besar-besaran di media massa padahal program belum siap; rumah sakit belum siap karena tidak ada sosialisasi KJS; akibatnya banyak pasien miskin meninggal dan menyebabkan kekacauan di puskemas dan rumah sakit. Semua kekacauan ini akhirnya ditangani oleh Kementerian Kesehatan yang mengganti total sistem KJS dengan INA-CBG dan baru kondisi normal kembali. Adapun KJP sekarang tidak tepat sasaran; banyak dikorupsi pejabat partai; disalahgunakan anak penerima KJP dan lain-lain.

- Normalisasi Waduk Pluit: "sistem asal kelihatan" dari Jokowi menjelaskan mengapa dia fokus membangun taman di pinggir Waduk Pluit dan mengabaikan waduknya sendiri sebab dengan demikian Jokowi bisa menunjukan ilusi dia bisa menormalisasi Waduk Pluit dengan cepat padahal hal tersebut tidak benar, sebagaimana terbukti hari ini endapan Waduk Pluit kembali seperti semula karena berbulan-bulan tidak diurus.

- Melakukan groundbreaking monorel dan MRT secara besar-besaran juga menggunakan rumus "asal kelihatan", masalah kontraktor ternyata belum siap sama sekali bukan urusan Jokowi karena buat Jokowi yang penting besok ngecor.

Yang dirugikan akibat ketamakan dan kurang pengendalian dari Jokowi untuk tidak mengejar jabatan sudah sangat jelas adalah rakyat Jakarta pada umumnya dan masyarakat kecil dan kaum marjinal pada khususnya sebab dua tahun APBD yang total berjumlah Rp. 160trilyun tidak dimanfaatkan dengan baik tapi malah digunakan untuk proyek-proyek pencitraan dan mercusuar untuk meningkatkan popularitas Jokowi. Kita lihat saja biaya blusukan Jokowi perbulan mencapai Rp. 5miliar, artinya selama satu setengah tahun terakhir Jokowi telah menghamburkan Rp. 100miliar begitu saja. Apakah ini perbuatan seorang pemimpin yang bermoral? Silakan anda simpulkan.

Bicara tentang moralitas Jokowi sesungguhnya terlalu banyak yang bisa diambil sebagai contoh dan terdapat banyak sisi; bisa dari fakta bahwa dia memalsukan riwayat hidup dengan pura-pura miskin padahal kaya; bisa dari dia mempolitisasi korban Lapindo; bisa dari dia melanggar seluruh janjinya kepada rakyat Jakarta demi ambisi; bisa juga dari kebohongan demi kebohongan yang terus dia lakukan tanpa dosa; bisa juga karakter Jokowi yang tampil di muka bila ada prestasi tapi buang badan bila ada kesalahan. Mau dibawa kemana negeri ini bila pemimpin kita hanya mengandalkan popularitas yang didongkrak seperti Jokowi? Mana bisa seseorang memimpin bermodal popularitas semata? Mana bisa pemimpin yang dibutakan oleh ambisinya sampai mengintai masjid satu Indonesia diperbolehkan memimpin negeri ini?

Untuk menutup artikel ini saya akan mengutip pandangan JK sebagai cawapres Jokowi mengenai Jokowi sebagai presiden: "Jangan hanya karena Jokowi terkenal lantas tiba-tiba dicalonkan menjadi presiden. Bisa hancur negeri ini, bisa masalah."

Read More

Teganya Jokowi Politisasi Korban Lumpur Lapindo

Leave a Comment
Berric Dondarrion

Kemarin, delapan tahun lalu pada tanggal 29 Mei 2006 terjadi semburan lumpur panas di lokasi pengeboran PT Lapindo Brantas di Dusun Balongnongo, Desa Renokenongo, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoardjo, Jawa Timur yang menyebabkan kawasan permukiman, pertanian dan perindustrian di kawasan tersebut tenggelam oleh lumpur sampai tidak tersisa ("Lumpur Lapindo"). Delapan tahun kemudian lumpur masih terus meluap di Sidoardjo tanpa dapat diperkirakan kapan akan berhenti.

Pertanyaan selanjutnya tentu adalah siapa atau apa yang menyebabkan tragedi Lumpur Lapindo ini? Ada dua pendapat yang sempat menjadi perdebatan sengit: pertama Lumpur Lapindo terjadi karena kelalaian dalam kegiatan pengeboran yang dilakukan oleh PT Lapindo Brantas; dan kedua, disebabkan oleh gempa besar di Jogjakarta yang terjadi beberapa hari sebelum luapan lumpur pertama kali dimulai. Masing-masing pendapat didukung oleh banyak ahli sehingga sekarang sudah cukup sult, bila tidak mau dikatakan tidak mungkin untuk menentukan penyebab sebenarnya; namun yang pasti persepsi masyarakat menganggap bahwa tragedi Lumpur Lapindo disebabkan oleh PT Lapindo Brantas, milik keluarga Bakrie.

Sama seperti kasus HAM yang menimpa Prabowo, tragedi Lumpur Lapindo juga cenderung dipolitisasi sejak pemimpin Group Bakrie, Aburizal Bakrie/ARB yang kebetulan ketua umum ditunjuk sebagai capres Golkar; dan sekarang ARB dan Golkar berkoalisi dengan Gerindra untuk memenangkan pasangan Prabowo-Hatta Rajasa sebagai presiden dan wakil presiden Indonesia yang baru. Dengan maksud mempolitisasi tragedi Lumpur Lapindo inilah yang melatarbelakangi kedatangan Jokowi ke Sidoardjo untuk memperingati delapan tahun tragedi Lumpur Lapindo untuk mengatakan bahwa "korban Lumpur Lapindo diabaikan pemerintah", dan hal ini sudah terang benderang merupakan bentuk politisasi tragedi ini karena dia bersama JK adalah saingan Prabowo-Hatta yang didukung ARB dan Golkar.

Selain fakta bahwa beberapa bulan terakhir adalah bulan politik, maka ada tiga alasan untuk kesimpulan saya bahwa Jokowi sedang mempolitisasi tragedi Lumpur Lapindo, yaitu sebagai berikut:

Pertama, dengan asumsi satu tahun adalah 365 hari maka tragedi Lumpur Lapindo sudah berjalan selama delapan tahun atau 2920 hari. Pertanyaan paling sederhana adalah kemana Jokowi selama delapan tahun atau 2920 hari terakhir? Bukankah jarak dari Solo ke Sidoardjo tidak jauh? Lantas mengapa Jokowi baru mengunjungi atau membahas kasus Lapindo menjelang pilpres 2014?

Kedua, Maaf saja saya meragukan ketulusan hati Jokowi membela warga Sidoardjo mengingat faktanya yang menyebabkan banyak warga korban Lumpur Lapindo tidak bisa mendapat ganti rugi secara penuh adalah Peraturan Presiden No. 14 Tahun 2007 yang intinya membatasi kewajiban ganti rugi yang harus dibayarkan PT Lapindo Brantas dan pemerintah sehubungan dengan Lumpur Lapindo dan yang paling bertanggung jawab atas keberadaan peraturan ini adalah Jusuf Kalla, wapres saat itu yang sampai ribut dengan Sri Mulyani yang menolak mem-bail-out PT Lapindo Brantas. Jusuf Kalla tentu saja adalah cawapres Jokowi.

Ketiga, politisasi kesulitan masyarakat oleh Jokowi demi meraih keinginannya memang sudah menjadi ciri khas Jokowi. Kita ambil contoh ketika dia sedang mengejar jabatan Gubernur DKI, Jokowi mempolitisasi kemacetan dan banjir di Jakarta dengan mengatakan bila dia jadi gubernur maka mengatasi macet dan banjir adalah mudah. Karena terpengaruh omongan bahwa dua masalah Jakarta itu akan mudah dibereskan Jokowi maka rakyat Jakarta memilih Jokowi. Apa lacur, ketika sudah diberi amanah, janji tersebut dilupakan begitu saja oleh Jokowi. Oleh karena itu janji Jokowi menolong korban Tragedi Lapindo bila dia menjadi presiden dapat dipastikan hanya bualan belaka yang akan dilupakan begitu dia jadi presiden seperti 87 janji kosong Jokowi di Jakarta. Dijamin!!

Saya juga berani menjamin bahwa Jokowi si raja ndak mikir; ndak tahu; ndak paham; ndak urus; sama sekali tidak tahu apapun fakta-fakta seputar Tragedi Lapindo. Bukan meremehkan Jokowi, tapi seperti itulah Jokowi, hanya peduli pencitraan tapi terlalu malas untuk mempelajari fakta. Walaupun bikin kesal, tapi kita masih bisa memaafkan bila Jokowi hanya mempolitisasi masalah kecil seperti kemacetan dan banjir di Jakarta; namun politisasi penderitaan dari masyarakat yang lahir akibat tragedi Lumpur Lapindo? Sungguh membuat perut saya mual karena jijik setiap memikirkannya.

Terlepas usaha politisasi dari Jokowi, bagaimana fakta sebenarnya seputar Tragedi Lapindo tanpa politisasi pihak yang tidak bertanggung jawab ini?

Katakanlah PT Lapindo Brantas bersalah menyebabkan Lumpur Lapindo maka secara hukum hanya PT Lapindo Brantas dan para pemegang sahamnya yang bertanggung jawab memberi ganti rugi. Adapun pemegang saham PT Lapindo Brantas sebelum lumpur meluap adalah PT Energi Mega Persada tbk sebesar 50% (milik PT Bakrie & Brothers, tbk adalah 30% dan 70% adalah saham yang dimiliki publik), Medco Energy sebesar 32% (milik Arifin Panigoro); dan Santos Ltd (perusahaan Australia). Berdasarkan persentase kepemilikan saham tersebut di atas saja sudah terlihat bahwa beban atas Lumpur Lapindo adalah tidak sepenuhnya berada pada Group Bakrie. Lantas mengapa hanya Group Bakrie yang dikejar sedangkan Medco dan Santos tidak pernah diungkit? Jawabannya karena pemimpin Group Bakrie adalah Ketum Golkar sehingga lebih seksi mengejar Bakrie daripada Arifin Panigoro dan Santos.

Pertanyaan lain, apakah ada putusan pengadilan yang menyatakan PT Lapindo Brantas bersalah mengingat sejak 2006 sampai hari ini gugatan terhadap terus berlangsung? Jawabannya adalah tidak ada satupun putusan pengadilan, baik pidana maupun perdata yang menyatakan PT Lapindo bersalah menyebabkan tragedi Lumpur Lapindo. Beberapa perkara tersebut antara lain adalah:

- Gugatan oleh Walhi di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan ditolak dan pengadilan menyatakan bahwa luapan lumpur adalah akibat fenomena alam.

- Gugatan oleh YLBHI di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat ditolak dan pengadilan menyatakan bahwa PT Lapindo Brantas sudah mengeluarkan banyak dana untuk mengatasi dampak luapan lumpur.

- Mahkamah Agung telah menolak permohonan uji materi atas Peraturan Presiden No. 14 Tahun 2007.

- Mahkamah Konstitusi menolak permohonan Uji Mater UU APBN-2012 yang menganggarkan ganti rugi bagi korban Lumpur Lapindo.

- Kepolisian Republik Indonesia menghentikan penyidikan atas kasus Lumpur Lapindo karena mempertimbangkan ketiadaan bukti dan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang menyatakan PT Lapindo Brantas tidak bersalah.

- dan lain-lain

Silakan buktikan bila ada yang curiga terdapat suap atau ketidakberesan apapun dalam semua proses pengadilan di atas namun yang bisa saya pastikan adalah kekalahan YLBHI dan Walhi terjadi adalah karena kesalahan tim mereka yang terlalu asal-asalan membuat gugatan sehingga sudah dari awal baik gugatan maupun bukti yang mereka ajukan sangat lemah. Dengan kata lain para korban Lumpur Lapindo harus menyalahkan para pembela publik atas penderitaan mereka yang berkepanjangan.

Kita ambil contoh gugatan YLBHI yang dikomandani oleh Taufik Basari/Tobas (sekarang adalah kader partai NasDem, anggota koalisi pengusung Jokowi-JK). Gugatan dan bukti yang diajukan YLBHI hanya berpijak atau berdasar pada satu hal, dan satu hal saja yaitu persepsi masyarakat bahwa Lumpur Lapindo adalah kesalahan pengeboran PT Lapindo Brantas dan persepsi ini dibungkus sebagai "fakta umum yang sudah diketahui sehingga tidak perlu dibuktikan lagi" (notoire feiten). Untuk membuktikan "notoire feiten" ini tim YLBHI mengajukan klipingan-klipingan koran; dan majalah mengenai Lumpur Lapindo sebagai bukti mereka. Apakah kita heran gugatan bisa ditolak?

Tim YLBHI melakukan kesalahan fatal dengan menganggap bahwa notoire feiten bisa disamakan dengan "persepsi masyarakat", padahal dalam hukum tidak ada orang yang bisa dihukum hanya berdasarkan persepsi saja; kesalahan fatal kedua adalah kemalasan mereka dalam mencari bukti-bukti yang ditunjukan dengan fakta klipingan koran malah diajukan sebagai bukti utama.
Read More

Mengapa Faisal Basri Dukung Jokowi-JK?

Leave a Comment
Berric Dondarrion

Saya tidak kagum sama sekali ketika melihat nama-nama yang berkumpul di Manifesto Rakyat Yang Tak Berpartai yang baru-baru ini melakukan deklarasi untuk mendukung Jokowi-JK. Bagaimana tidak, nama-nama tersebut hanya berisi daftar nama beberapa aktivis anti korupsi; demokrasi dan pers yang terkenal bermuka dua dan beberapa nama sutradara one hit wonder seperti Riri Riza dan Jokowi Anwar serta beberapa artis yang sudah tidak laku tanpa massa pendukung seperti Slamet Rahardjo dan Olga Lydia sehingga dukungan mereka tidak terlalu penting dan tidak signifikan.

Dalam kubu yang disebut "Manifesto Rakyat Yang Tak Berpartai" tersebut terdapat:

- Goenawan Mohamad/GM, aktivis kebebasan berpendapat yang mengancam untuk membawa admin Kompasiana ke pengadilan sehubungan dengan sebuah artikel yang diposting seseorang yang menggunakan akun "Jilbab Hitam"; aktivis kebebasan pers yang tidak segera menggunakan hak jawabnya ketika ada jurnalis media Indonesia melaporkan bahwa pentas seni yang diadakan GM berisi pesta alkohol namun malah mengirim sms ke pemilik Media Indonesia, Surya Paloh yang mengakibatkan dua jurnalis penulis artikel mundur dari media Indonesia; menggunakan jaringan internasionalnya di bidang sastra untuk hanya mempromosikan seniman/penulis yang berasal dari kelompoknya (KUK/Salihara) (melanggengkan praktek nepotisme di dunia sastra); ngambek karena tidak berhasil mengambil Majalah Horison milik orang lain.

- Ayu Utami: penulis novel Salman yang secara efektif memperkenalkan gaya khas stensilan porno ke dunia sastra kontemporer dan termasuk yang karirnya diuntungkan karena kedekatan dengan GM (pelaku nepotis dunia sastra);

- Todung Mulya Lubis/TML: advokat yang dipecat Peradi karena menerima honor dari dua pihak yang berperkara (benturan kepentingan); namun melakukan banding ke atas putusan Peradi ke organisasi yang tidak ada hubungan dengan Peradi: Kongres Advokat Indonesia (KAI) yang waktu itu dikuasai Adnan Buyung Nasution (logika sesat yang tidak ada di dunia manapun, dipecat A tapi banding keputusan pemecatan ke B); aktivis anti korupsi yang menerima uang asing untuk mendirikan Transparency International Indonesia tapi malah membela kasus mega korupsi BLBI dan cost recovery sektor migas yang berhubungan dengan bioremediasi; menjadi kuasa hukum Jokowi dalam kasus pengadaan bus transjakarta;

- Nono Makarim: yang paling bermartabat dan berintegritas dibanding yang lain namun masih terdapat misteri terkait kematian partner bisnisnya yang masih menyimpan misteri sampai sekarang yaitu Frank Taira, bunuh diri atau dibunuh yang dibuat seolah bunuh diri?

- Fadjroel Rachman: aktivis yang membangga-banggakan perannya dalam demo-demo menjelang kejatuhan Presiden Soeharto namun tidak pernah mengungkit keberadaannya ketika provokasi darinya menyebabkan kerusuhan penuh rasial selama dua hari. Di mana Fadjroel sebagai pemimpin demo ketika kerusuhan? Bersembunyi kah?

- Lin Che Wei: tidak ada yang meragukan kapasitas dan kapabilitasnya di bidang ekonomi dan pasar modal; namun sayangnya dia mendirikan KataData bersama Metta Dharmasaputta, mantan jurnalis Tempo yang disadap ketika menerima uang ratusan juta dari Edward Soerjadjaja untuk mengekspos Asian Agri. Atas perbuatan ini AJI selaku organisasi tempat Metta bernaung telah melakukan sidang dewan etik dengan hasil Metta tidak melanggar kode etik. Masalahnya AJI adalah organisasi yang didirikan oleh GM, pemilik Tempo sehingga dapat dipastikan putusan dewan etik AJI tersebut kental berbenturan dengan kepentingan Tempo untuk menjaga kredibilitas pemberitaannya.

- Butet Kartaredjasa: kritikus pemerintahan melalui impresionis atau meniru pejabat publik dan sempat terkenal dengan gayanya meniru Presiden Soeharto. Awal-awal lucu saja tapi lama-kelamaan jadi berpikir juga, orang ini mengkritik terus tapi apa jasa dia bagi Indonesia dan rakyat Indonesia?

- dan lain sebagainya.

Namun ada satu tokoh yang membuat saya bingung dengan pilihannya mendukung Jokowi-JK, yaitu ekonom Faisal Basri yang juga merupakan salah satu pendiri ICW. Secara integritas tokoh yang satu ini perlu diacungi jempol karena dia tidak menjual idealismenya untuk materi dan kekuasaan sebagaimana yang dilakukan aktivis lain. Secara keilmuan dia sangat diakui kualitasnya dan dalam melakukan advokasi seorang Faisal Basri kerap memberikan pencerahan tanpa terkesan menggurui atau terkesan sok tahu. Dia juga sering menjadi saksi ahli yang profesional dan tidak menjadi ahli bersaksi sebagaimana rekan-rekan seprofesinya.

Memberikan dukungan kepada siapapun tentu hak Faisal Basri namun mengingat dia juga adalah seorang ekonom dan pengamat yang tentunya sudah melihat rendahnya penyerapan anggaran di Pemprov DKI yang secara praktis menghentikan semua pembangunan; korupsi oleh Jokowi pada kasus pengadaan transjakarta; pembangunan di Jakarta mangkrak semua karena Jokowi terlalu egois dan mementingkan pencitraan daripada membangun Jakarta; korupsi KJS-KJP karena mengeluarkan dana dari APBD tanpa dianggarkan terlebih dahulu, dan lain-lain.

Apalagi apakah Faisal Basri tidak tahu atau belum pernah mendengar bahwa JK sebagai cawapres Jokowi sendiri telah mengatakan bahwa Indonesia akan hancur dan banyak masalah bila Indonesia dipimpin Jokowi. Apakah Faisal Basri tega membiarkan Indonesia terpuruk di bawah kepemimpinan Jokowi mengingat rekam jejak di Jakarta yang buruk dan keterangan dari JK sendiri?

Selanjutnya mengenai cawapres Jokowi, JK, bahkan dua minggu lalu Faisal Basri menulis artikel di Kompasiana yang mempertanyakan alasan JK terus mengumbar kebohongan, dan artikel ini terkait dengan pernyataan JK bahwa dia tidak pernah menerima sms Sri Mulyani terkait bail-out Bank Century padahal di Pengadilan Sri Mulyani berhasil membuktikan bahwa sms bail out tersebut memang ada, dan isu-isu lain (selengkapnya silakan lihat artikel dimaksud di http://m.kompasiana.com/post/read/655567/2/mengapa-pak-jk-terus-mengumbar-bohong.html ).

Benar, JK adalah seorang pembohong akut dan adalah naif bila berpikir Jokowi akan mengendalikan pemerintahan bila di sampingnya ada JK dan karena itu buang jauh-jauh pemikiran "Jokowi sosok dengan rekam jejak bersih" karena pada akhirnya yang mengendalikan si boneka adalah orang-orang seperti Hendropriyono; Luhut Panjaitan dan JK. Lagipula apakah Faisal Basri tidak melihat bahwa pada pemerintahan SBY-JK lima tahun lalu banyak sekali proyek pemerintah masuk dan mengalir desar ke anak-anak perusahaan milik JK? Apakah Faisal Basri tidak mendengar dari Sabam Sirait bahwa JK membayar Rp. 10trilyun untuk menjadi cawapres JK dan yang melobi Megawati adalah jenderal Budi yang terkenal karena kasus rekening gendung polisi? Apakah Faisal Basri tidak mengetahui bahwa Jokowi adalah seorang pembohong besar, karena dia terbukti berbohong mengenai riwayat hidupnya sebagai "orang miskin" padahal Jokowi berasal dari keluarga yang sangat kaya raya dan juragan tanah.

Mengapa Faisal Basri mau mengorbankan Indonesia dengan mendukung pasangan yang dapat dipastikan hanya boneka dan akan mengeruk habis proyek pemerintah demi menguntungkan anak perusahaannya? Karena capres seberang memiliki rekam jejak buruk di bidang HAM? Bila demikian apakah Faisal Basri tidak bisa melihat para jenderal pelanggar HAM justru banyak bercokol di kubu Jokowi-JK? Apakah karena Faisal Basri barisan sakit hati PAN dan cawapres seberang dari PAN dan ada Amien Rais? Saya berharap tidak.

Apapun alasan Faisal Basri mendukung Jokowi, saya berharap alasannya cukup rasional dan bisa diterima akal sehat.
Read More

Bukti Jokowi Boneka Amerika Serikat

Leave a Comment
Berric Dondarrion

Awal Perjumpaan Jokowi - Amerika

Tahun 2005 hampir saat bersamaan dengan terpilihnya Jokowi sebagai Walikota Solo dengan persentase suara sebesar 36,62%, secara kebetulan di Thailand, dinas intelijen Amerika bekerja sama dengan otoritas setempat menangkap salah seorang yang terkait serangan 9/11 dan salah satu yang dianggap merencanakan Bom Bali I tahun 2002 bernama Riduan Isamuddin atau yang dikenal sebagai Hambali yang setelah diintrograsi oleh CIA ternyata memiliki hubungan dengan Jemaah Islamiyah yang terkait Al Qaeda, pimpinan Abu Bakar Baasyir yang bermarkas di Solo.

Temuan bahwa terdapat hubungan antara Hambali dengan Abu Bakar Baasyir membuat dinas intelijen Amerika Serikat memutuskan untuk menyelidiki Kota Solo dan ponpres Ngruki yang dipimpin Abu Bakar Baasyir yang saat itu dipimpin Jokowi. Dinas intelijen Amerika berkali-kali mengirim agennya untuk menemui Jokowi selaku Walikota Solo sesuai dokumen rahasia CIA yang dibocorkan oleh Wikileaks bahwa pada tanggal 7 April 2006 atau hanya tujuh bulan sejak terpilih menjadi walikota; agen rahasia Amerika yang menemui Jokowi adalah Pierangelo dan David S. Williams dan mereka meminta Jokowi untuk mengontrol gerakan Abu Bakar Baasyir.

Sesuao permintaan Amerika, Jokowi berhasil mengontrol keradikalan pengikut Abu Bakar Baasyir di Solo dengan mendekati sang ustad secara pribadi, dan hubungan keduanya terus berlanjut sampai Jokowi menjadi Gubernur DKI Jakarta yang ditunjukan dengan pengiriman utusan oleh Abu Bakar Baasyir ke Jakarta pada tanggal 30 Januari 2013 untuk menyampaikan pesan dan nasihat kepada Jokowi, padahal saat itu Abu Bakar Baasyir sedang berada di penjara Nusakambangan. Jokowipun mengucapkan terima kasih atas nasihat tersebut dan menyampaikan salam.

Keberhasilan Jokowi mengontrol Abu Bakar Baasyir mendapat pujian Amerika sebagaimana kembali terbukti dari bocoran kawat diplomatik dari Dubes AS di Jakarta, Cameron R. Hume kepada Pentagon sesuai bocoran website Wikileaks berjudul "Solo, From Radical Hub To Tourist Heaven." Dalam kawat diplomatik itu, Dubes AS menulis bahwa Solo sebelum 2005 adalah pusat kaum radikal Islam namun Jokowi berhasil menekan militansi ponpred Ngruki dan Islam melalui acara-acara seperti Euro-Asia World Heritage Cities Organization dan lain-lain.

Keberhasilan Jokowi menekan keradikalan Abu Bakar Baasyir dan penundukan diri Jokowi pada permintaan agen CIA yang mendatangi dirinya adalah salah satu faktor yang membuat Amerika memutuskan Jokowi adalah kandidat pemimpin boneka Amerika di Indonesia selanjutnya, dan untuk itu Amerika memutuskan "mematangkan" Jokowi sebagai "calon pemimpin nasional" dengan mengirim Luhut Panjaitan, anak emas Benny Moerdani, dan AM Hendropriyono, murid Benny Moerdani.

Bukti Luhut Binsar Panjaitan merupakan anak emas kesayangan Benny Moerdani adalah sebagai berikut ini:

"Berbeda dengan panglima-panglima sebelum dan sesudahnya, Benny memang memelihara sejumlah orang yang disenanginya. "Mereka itu semacam golden boys Benny Moerdani," kata Schwarz. Salah satu yang dikenal sebagai "anak emas" itu adalah Luhut Binsar Panjaitan."

- Salim Said, Dari Gestapu Ke Reformasi, Serangkaian Kesaksian, halaman 343

Benny Moerdani sendiri tentu saja adalah bagian dari CSIS yang didirikan oleh Pater Beek, agen CIA, dinas intelijen Amerika yang setelah komunis jatuh melihat Islam sebagai kekuatan yang bisa melawan Amerika (selengkapnya bisa dibaca di tulisan George Junus Aditjondro, mantan murid Pater Beek, berjudul CSIS, Pater Beek SJ, Ali Moertopo dan LB Moerdani).

Untuk menutupi kegiatan intelijen ketika menggarap/membina Jokowi sebagai persiapan agar dia bisa menjadi boneka Amerika yang baik maka tahun 2008 Luhut Panjaitan membuat usaha patungan dengan Jokowi melalui perusahaan milik Luhut bernama PT Toba Sejahtera dengan holding mendirikan PT Rakabu Sejahtera, di mana dalam Akta Pendirian disebutkan bahwa modal awal pendirian perusahaan berasal Luhut sebesar Rp. 15,5miliar dan anak Jokowi bernama Gibran Rakabuming Raka (saat itu berusia 20 tahun) "menyetor" Rp. 19.2miliar. Ini tentu temuan yang sangat luar biasa karena menunjukan anak Jokowi memiliki uang sebesar Rp. 19,2miliar untuk membangun perusahaan dengan Luhut Panjaitan, padahal tahun lalu dia mengatakan kesulitan mencari modal Rp. 1miliar untuk membangun usaha katering (anak Jokowi pelihara tuyul?).

Sebagai persiapan membawa Jokowi ke panggung nasional maka dibuatlah serangkaian operasi intelijen untuk membangun citra palsu Jokowi sebagai pemimpin muda terbaik negeri ini, antara lain membuat Jokowi meraih suara sampai 90,09% pada pilkada Solo tahun 2010; mendekatkan Jokowi dengan Esemka, proyek milik BPPT dan Kementerian Pendirikan; merubah cerita riwayat hidup Jokowi dari anak keluarga orang kaya dan juragan tanah menjadi anak orang miskin yang tinggal di bantara kali dan tiga kali mengalami penggusuran; dan lain sebagainya.

Akhirnya ketika saatnya tiba untuk melontarkan Jokowi ke panggung nasional dipilihlah Tempo, media massa milik Goenawan Mohamad, didikan Ivan Kats, agen CIA ketika Amerika sedang berusaha mengalahkan komunisme di Indonesia melalui pendekatan kebudayaan yang bekerja di Congress for Cultural Freedom/CCF yang dibentuk di Berlin oleh CIA pada 1950 dan dipimpin oleh Michael Josselson, agen CIA. Kedekatan antara Ivan Kats dengan Goenawan Mohamad digambarkan sebagai berikut:

"Para periode inilah, awal 1960an, Kats membangun hubungan dengan simpatisan PSI dari generasi yang lebih muda ini, khususnya Goenawan Mohamad, yang kelak menjadi salah seorang tokoh paling berpengaruh dalam mengokohkan liberalisme barat dalam kebudayaan kontemporer Indonesia."

- Wijaya Herlambang, Kekerasan Budaya Pasca 1965, halaman 79

Tampaknya sampai hari ini Goenawan Mohamad masih menjadikan CIA sebagai salah satu sumber keuangannya dengan bekerja untuk kepentingan-kepentingan Amerika di Indonesia, sebagaimana ditemukan Wijaya Herlambang berikut ini:

"...Ketika mendirikan ISAI pada 1995, Goenawan juga menghadap orang-orang Amerika itu untuk mendapatkan bantuan keuangan. Dibantu oleh Arief Budiman, yang memperkenalkannya kepada Mark Johnson, Kepala Program USAID [samaran bagi Divisi pendanaan CIA), Goenawan mengajukan proposal pendirian ISAI [Institut Studi Arus Informasi]. Johnson setuju memberikan sekitar AS$ 100,000-200,000 untuk kegiatan selama dua atau tiga tahun.."

- Wijaya Herlambang, halaman 242

"Sebagaimana hampir semua institusi yang berasosiasi dengan KUK [Komunitas Utan Kayu], JIL [Jaringan Islam Liberal] juga menerima dukungan keuangan dari organisasi-organisasi filantropi yang berbasis di AS. Salah satunya adalah The Asia Foundation [terkait USAID] yang berkomitmen menyediakan dana sekitar AS 150,000/tahun.."

"Pada tanggal 17 Oktober 2008, sebuah institusi kebudayaan yang merupakan "anak termuda" KUK, Komunitas Salihara, secara resmi dibuka...Kompleks berbiaya Rp. 17,5miliar ini dibangun dengan dukungan finansial dari beberapa institusi seperti: Prince Claud Fund, Ford Foundation, Erasmus Huis, Japan Foundation, Hivos, Goethe Institute, serta kedutaan AS, Finlandia, Belanda dan Pusat Kebudayaan Prancis."

- Wijaya Herlambang, halaman 245

Peran Tempo dalam mengangkat Jokowi ke panggung nasional terbukti dari fakta bahwa Tempo adalah majalah yang pertama kali mengulas kehebatan Jokowi dan visionernya Jokowi terkait proyek yang akan menjadi cikal bakal mobil nasional bernama Esemka dengan hasil sukses besar sebab Jokowi segera menjadi fenomena baru di Indonesia dan siap ke batu pijakan pertama menuju panggung nasional: pilkada Jakarta untuk memilih Gubernur.

Amerika dan Antek-Antek Menampakan Diri

Karena sejak semula Amerika dan kaki tangannya di Indonesia menempatkan Jokowi di Jakarta sebagai batu loncatan menuju kursi presiden Indonesia maka selama dua tahun menjabat sebagai Gubernur DKI, yang dilakukan Jokowi adalah meningkatkan citra dirinya setinggi mungkin melalui berbagai blusukan dan proyek-proyek pencitraan yang sekarang mangkrak semua; sementara media massa peliharaan Amerika di Indonesia terus mendorong-dorong Jokowi sebagai capres dengan dibantu gerakan intelijen kelompok Benny Moerdani membentuk PDIP ProJo/Seknas Jokowi untuk mendorong Megawati mencapreskan Jokowi.

Setelah Jokowi menjadi capres, para "pasukan bayangan" di belakang Jokowi mulai berani menampakan diri; CSIS melalui petinggi mereka, Jacob Oetoyo mengatur pertemuan Jokowi sebanyak dua kali dengan dubes Amerika dan Inggris, sekali di rumahnya; dan yang kedua kali di rumah makan mewah di Jakarta Pusat; The Jakarta Post, koran milik CSIS secara terang-terangan melindungi Jokowi yang diusir Puan Maharani untuk memberikan citra buruk bagi Puan; Goenawan Mohamad dan Ayu Utami sudah secara terbuka mendukung Jokowi, termasuk Tempo yang sengaja memasang foto palsu di cover mengenai kebakaran posko PDIP dengan menggunakan kebakaran besar di Jelambar seolah-olah adalah foto posko PDIP yang terbakar kecil (terbakar bukan dibakar).

Demikian pula dengan pasukan-pasukan ex Benny Moerdani yang pernah disingkirkan Prabowo karena mereka selama bertahun-tahun mencoba mendeislamisasi Indonesia juga sudah mulai terang-terangan menampakan diri dan secara terbuka menyatakan mendukung Jokowi, boneka Amerika itu. Para kelompok Benny Moerdani tersebut antara lain: Wiranto; Agum Gumelar-Hendropriyono; Sutiyoso; Luhut Panjaitan; dan masih banyak lagi.
Read More

Jokowi Bukan Anak Orang Miskin

Leave a Comment
Berric Dondarrion

Pernahkah anda membaca atau mendengar kisah masa kecil Jokowi yang begitu mengharukan, bagaimana dia berasal dari keluarga orang miskin yang rumahnya selalu digusur oleh Pemerintah Kota Solo sehingga sempat luntang lantung tidak punya rumah sebab ayahnya yang tukang kayu biasa tidak memiliki cukup uang untuk membeli rumah? Kira-kira cerita Jokowi adalah seperti yang diulang kepada Tribunnews sebagai berikut:

"Saya ini orang miskin, anak tukang kayu. Masa kecil saya, kami tinggal di bantaran kali. Tidak kali orangtua saya berpindah-pindah, mengontrak, karena tidak punya rumah. Waktu di bantara kali itu juga, rumah kami digusur pemerintah Solo, dan tidak diganti rugi. Itu semua memengaruhi saya. Pemimpin yang lahir dalam keluarga kaya raya, dengan orang miskin tentu beda. Omongan boleh dibuat-buat, tetapi gestur tubuh dan mimiknya tidak bisa berbohong."

Kisah Jokowi sangat inspiratif bukan? Dari anak orang miskin di bantaran kali dan sekarang menuju bangku kepresidenan? Pantas tagline kampanye Jokowi adalah "Jokowi adalah kita"; atau Jokowi berasal dari kalangan rakyat marjinal. Sayangnya kisah inspiratif ini seperti kebanyakan kalimat yang keluar dari mulut Jokowi adalah dusta besar yang dibuat dengan tujuan pencitraan dan menciptakan ilusi bahwa Jokowi adalah pemimpin sederhana yang merakyat.

Berikut ini adalah ringkasan beberapa temuan investigasi dari tim Sindonews untuk mencari latar belakang keluarga Jokowi:

- Keluarga Jokowi bukan berasal dari keluarga tidak mampu dan yang pasti keluarga Jokowi tidak pernah sekalipun mengalami penggusuran sebagaimana diklaim Jokowi.

- Menurut kesaksian anak buah kakek Jokowi, Kragan Marbi (80 tahun) dari Dusun Kuman, Desa Kragen, Gondangrejo, Karanganyar, Kakek Jokowi bernama Wirjo Miharjo yang merupakan Kepala Desa Seumur hidup dan sangat kaya, sehingga tidak benar bila mengatakan keluarga Jokowi tidak mampu.

- Kakek Jokowi memiliki lima anak, termasuk ayah Jokowi namun tidak pernah kesulitan memberi nafkah kepada anak-anaknya termasuk memberi warisan kepada lima anaknya. Ayah Jokowi menerima penggilingan padi dan dijual kepada Kragan Marbi pada tahun 1977 seharga Rp. 6juta karena pindah ke Sumber Solo. Selain uang dari warisan tersebut, kakek Jokowi yang kaya masih memberi modal untuk berdagang kepada ayah Jokowi.

- Kragan Marbi mengungkap kekagetannya ketika mendengar Jokowi tiga kali digusur sebab setahu dia sejak pindah hingga hari ini, rumah ayah Jokowi tetap di tempat yang sama dan tidak pernah, di dekat pangkalan bus Damri.

- Pernyataan Kragan Marbi tersebut diamini oleh teman akrab ayah Jokowi, Kasurin yang mengatakan: "Yen wong jowo bilang, keluargane Jokowi, si Wiji kui balung gajah. Ora bener yen ono sing ngomong keluargane Jokowi kui wong ora mampu. Bondone tanah okeh ning endi-endi (terjemahan redaksi Sindonews: Kalau orang Jawa bilang, keluarganya Jokowi, si Wji [ayah Jokowi] itu dari keluarga mampu. Tidak benar kalau ada yang bilang keluarganya Jokowi orang tidak mampu. Harta tanah banyak dan ada di mana-mana).

Berdasarkan temuan ini maka kita bisa mengambil sebuah kesimpulan tidak terbantahkan sebagai berikut:

1. Tidak benar keluarga Jokowi tidak mampu karena keluarga Jokowi selain kaya juga memiliki banyak tanah;

2. Tidak benar ayah Jokowi seorang tukang kayu miskin;

3. Tidak benar rumah masa kecil Jokowi ada di pinggir kali dan pernah tiga kali digusur pemerintah Kota Solo tanpa ganti rugi; dan

4. Riwayat masa kecil yang diedarkan Jokowi adalah kebohongan besar.

Masa mau pemimpin pembohong seperti Jokowi memimpin Indonesia?
Read More

Jokowi: Dari Joko Klemer ke Capres Boneka

Leave a Comment
Berric Dondarrion

Artikel ini adalah edisi spesial menyambut artikel saya yang keseratus di Kompasiana dengan topik perjalanan hidup atau riwayat hidup capres PDIP bernama Jokowi dari kelahiran sampai ditetapkan menjadi capres, dan mengambil judul: "Jokowi: Dari Joko Klemer ke Capres Boneka", selamat menikmati.

Masa Kecil Hingga Dewasa

Jokowi yang bernama lengkap Joko Widodo lahir di Surakarta, 21 Juni 1961 dari ayah bernama Widjiatno yang kemudian berubah nama menjadi Noto Mihardjo, yang berayah seorang lurah abadi di Kragan, Karanganyar berjulukan "Lurah Dongkol", seorang pengusaha mebel lokal sangat sukses seperti adiknya yang bernama Miyono dan mempunyai banyak karyawan dengan rumah terletak di Jalan Raya Ahmad Yani, depan pool damri. Rumah ini menjadi milik ayah Jokowi sejak tahun 1960 dan terus ditinggali hingga Jokowi menikah dengan Iriana.

Sejak kecil Jokowi sudah menunjukan bahwa dia tidak memiliki kecerdasan yang memadai karena dia gagal lolos saat tes seleksi masuk SMA 1, 3, 4 Surakarta yang termasuk sekolah favorit. Jokowi kecil adalah anak pemalu sedikit manja yang tidak bergaul dengan anak-anak di sekitar rumahnya dan lebih sering mengurung diri di rumah atau main ke rumah pamannya, Miyono dengan naik sepeda mahal. Panggilan Jokowi dari kecil hingga dewasa adalah "Mas Joko Klemer", yang dimaksudkan sebagai sebuah ledekan karena gerak tubuh dan perilaku Jokowi yang klemar-klemer; kemayu; feminin, yang kemungkinan hasil tinggal bersama tiga adik kandung yang semuanya perempuan (Sriyantini, Handayati dan Titik Ritawati).

Walikota Surakarta Dari 2005 - 2012

Pada masa pemerintahan walikota Surakarta sebelum Jokowi yaitu Slamet Suryanto dari PDIP (2000 - 2005), Solo terkenal sebagai pusat kaum radikal Islam dan tidak baik dari segi perekonomian. Dalam kondisi inilah Jokowi tiba-tiba memiliki aspirasi untuk mencalonkan diri sebagai walikota Solo namun saat itu Jokowi bukan anggota parpol, sedangkan untuk mencalonkan diri sebagai harus dicalonkan oleh salah satu partai politik. Dengan pertimbangan Jokowi mulai keliling demi mengunjungi beberapa partai yang bersedia mencalonkannya sebagai walikota Solo dan hanya PDIP yang bersedia mencalonkannya.

Pada saat Jokowi mendatangi PDIP mereka sedang mencari pengganti Slamet Suryanto namun kader yang dianggap sepadan hanya Ketua PDIP Solo, FX Hadi Rudyatmo yang beragama Katolik sehingga akan sulit maju mencalonkan diri sebagai walikota, dan.kedatangan Jokowi memberi mereka solusi. Kesepakatan tercapai antara PDIP Solo dengan Jokowi, yaitu Jokowi maju sebagai calon walikota sementara FX Hadi sebagai calon wakilnya dan bila mereka terpilih maka FX Hadi akan menjadi walikota de facto menggunakan Jokowi sebagai walikota de jure (topeng/boneka).

Sebagai figur yang kurang terkenal maka cara Jokowi berkampanye adalah dengan mengunjungi warga satu per satu atau yang sekarang dikenal sebagai blusukan. Akhirnya pasangan Jokowi-FX Hadi memenangkan pemilihan tersebut dengan persentase suara sebesar 36,62%, dan hal ini bukan karena faktor Jokowi, melainkan karena Solo adalah salah satu basis atau lumbung suara PDIP.

Hampir saat bersamaan dengan terpilihnya Jokowi sebagai Walikota Solo secara kebetulan Amerika dan CIA menangkap salah seorang yang terkait serangan 9/11 dan salah satu yang dianggap merencanakan Bom Bali I tahun 2002 bernama Riduan Isamuddin atau yang dikenal sebagai Hambali yang setelah diintrograsi oleh CIA ternyata memiliki hubungan dengan Jemaah Islamiyah yang terkait Al Qaeda, pimpinan Abubakar Basyir yang bermarkas di Solo.

Hubungan Hambali dan Abu Bakar Basyir membuat dinas intelijen Amerika Serikat memusatkan perhatian mereka ke Kota Solo yang saat itu dipimpin Jokowi. Dinas intelijen Amerika juga berkali-kali mengirim agennya untuk menemui Jokowi, dan hal ini terbukti dari dokumen rahasia CIA yang dibocorkan oleh Wikileaks bahwa pada tanggal 7 April 2006 atau hanya tujuh bulan sejak terpilih menjadi walikota; agen rahasia Amerika yaitu Pierangelo dan David S Williams menemui Jokowi dan memintanya mengontrol Abu Bakar Basyir.

Jokowi berhasil mengontrol keradikalan pengikut Abu Bakar Basyir di Solo dengan mendekati sang ustad secara pribadi, terbukti ketika Jokowi menjadi Gubernur DKI Jakarta Abu Bakar Baasyir mengirim utusan ke Jakarta pada tanggal 30 Januari 2013 untuk menyampaikan pesan dan nasihat kepada Jokowi, padahal saat itu Abu Bakar Baasyir sedang berada di penjara Nusakambangan. Jokowipun mengucapkan terima kasih atas nasihat tersebut dan menyampaikan salah kepada Abu Bakar Baasyir yang menunjukan kedekatan hubungan mereka.

Keberhasilan Jokowi mengontrol Abu Bakar Baasyir mendapat pujian Amerika sebagaimana kembali terbukti dari bocoran kawat diplomatik Dubes AS di Jakarta, Cameron R. Hume, di website Wikileaks berjudul "Solo, From Radical Hub To Tourist Heaven." Dalam kawat diplomatik ke pemerintah Amerikanya itu, Dubes AS menulis bahwa Solo sebelum 2005 adalah pusat kaum radikal Islam namun Jokowi berhasil menekan militansi ponpred Ngruki dan Islam melalui acara-acara seperti Euro-Asia World Heritage Cities Organization.

Setelah keberhasilan Jokowi menekan keradikalan Abu Bakar Baasyir inilah tampaknya Amerika memutuskan Jokowi adalah kandidat pemimpin boneka Amerika di Indonesia selanjutnya, dan untuk itu Amerika memutuskan "mematangkan" Jokowi sebagai "calon pemimpin nasional" dengan mengirim Luhut Panjaitan, anak emas Benny Moerdani, dan AM Hendropriyono, murid Benny Moerdani. Benny Moerdani tentu saja adalah bagian dari CSIS yang didirikan oleh Pater Beek, agen CIA, dinas intelijen Amerika yang setelah komunis jatuh melihat Islam sebagai kekuatan yang bisa melawan Amerika (selengkap bisa dibaca di tulisan George Junus Aditjondro, mantan murid Pater Beek, berjudul CSIS, Pater Beek SJ, Ali Moertopo dan LB Moerdani).

Untuk menutupi kegiatan intelijen ketika menggarap/membina Jokowi agar menjadi boneka Amerika yang baik maka tahun 2008 Luhut Panjaitan membuat usaha patungan dengan Jokowi melalui perusahaannya Luhut, PT Toba Sejahtera mendirikan PT Rabuka Sejahtera, di mana modal awal disebutkan dari Luhut sebesar Rp. 15,5miliar dan anak Jokowi bernama Gibran Rakabuming Raka yang saat itu berusia 20 tahun "menyetor" Rp. 19.2miliar. Ini tentu sangat luar biasa bahwa anak Jokowi memiliki uang sebesar Rp. 19,2miliar untuk membangun perusahaan dengan Luhut Panjaitan, padahal tahun lalu dia mengatakan kesulitan mencari modal Rp. 1miliar untuk membangun usaha catering sampai hampir stress.

Sebagai persiapan membawa Jokowi ke panggung nasional maka dibuatlah serangkaian operasi intelijen untuk membangun citra palsu Jokowi sebagai pemimpin muda terbaik negeri ini, antara lain membuat Jokowi meraih suara sampai 90,09% pada pilkada Solo tahun 2010; mendekatkan Jokowi dengan Esemka, proyek milik BPPT dan Kementerian Pendidikan, dan lain sebagainya.

Akhirnya untuk melontarkan Jokowi ke panggung nasional dipilihlah Tempo, media massa milik Goenawan Mohamad, didikan Ivan Kats, agen CIA ketika Amerika sedang berusaha mengalahkan komunisme di Indonesia yang bekerja di Congress for Cultural Freedom yang dibentuk di Berlin oleh CIA pada 1950 dan dipimpin oleh Michael Josselson, agen CIA. Kedekatan antara Ivan Kats dengan Goenawan Mohamad digambarkan sebagai berikut:

"Para periode inilah, awal 1960an, Kats membangun hubungan dengan simpatisan PSI dari generasi yang lebih muda ini, khususnya Goenawan Mohamad, yang kelak menjadi salah seorang tokoh paling berpengaruh dalam mengokohkan liberalisme barat dalam kebudayaan kontemporer Indonesia."

- Wijaya Herlambang, Kekerasan Budaya Pasca 1965, halaman 79

Tampaknya sampai hari ini Goenawan Mohamad masih menjadikan CIA sebagai salah satu sumber keuangannya dengan bekerja untuk kepentingan-kepentingan Amerika di Indonesia, sebagaimana ditemukan Wijaya Herlambang berikut ini:

"...Ketika mendirikan ISAI pada 1995, Goenawan juga menghadap orang-orang Amerika itu untuk mendapatkan bantuan keuangan. Dibantu oleh Arief Budiman, yang memperkenalkannya kepada Mark Johnson, Kepala Program USAID [samaran bagi Divisi pendanaan CIA), Goenawan mengajukan proposal pendirian ISAI [Institut Studi Arus Informasi]. Johnson setuju memberikan sekitar AS$ 100,000-200,000 untuk kegiatan selama dua atau tiga tahun.."

- Wijaya Herlambang, halaman 242

"Sebagaimana hampir semua institusi yang berasosiasi dengan KUK [Komunitas Utan Kayu], JIL [Jaringan Islam Liberal] juga menerima dukungan keuangan dari organisasi-organisasi filantropi yang berbasis di AS. Salah satunya adalah The Asia Foundation [terkait USAID] yang berkomitmen menyediakan dana sekitar AS 150,000/tahun.."

- Wijaya Herlambang, halaman 245

Peran Tempo dalam mengangkat Jokowi ke panggung nasional terbukti dari fakta bahwa Tempo adalah majalah yang pertama kali mengulas kehebatan Jokowi dan visionernya Jokowi terkait proyek yang akan menjadi cikal bakal mobil nasional bernama Esemka dengan hasil sukses besar sebab Jokowi segera menjadi fenomena baru di Indonesia dan siap ke batu pijakan pertama menuju panggung nasional: pilkada Jakarta untuk memilih Gubernur.

Dari Gubernur DKI Menuju Capres Boneka

Menggunakan pemahaman yang diperoleh sekarang dapat menjelaskan banyak anomali dan keanehan pada berbagai kejadian saat pemilihan Gubernur DKI berlangsung hingga Jokowi berhasil mengalahkan Foke sangat kental dengan operasi intelijen dari kelompok Benny Moerdani, termasuk secara kasat mata penggunaan strategi Lempar Batu Sembunyi Tangan atau Politik Dizalimi khas Jokowi, yaitu perekaman ceramah Rhoma Irama yang mengajak umat Islam jangan memilih Jokowi; dan kerusuhan rasial di Solo yang ditanggapi Jokowi bahwa perbuatan keji bila kejadian tersebut terkait pilkada DKI.

Karena sejak semula Amerika dan kaki tangannya di Indonesia menempatkan Jokowi di Jakarta sebagai batu loncatan menuju kursi presiden Indonesia maka selama dua tahun menjabat sebagai Gubernur DKI, yang dilakukan Jokowi adalah meningkatkan citra dirinya setinggi mungkin melalui berbagai blusukan dan proyek-proyek pencitraan yang sekarang mangkrak semua; sementara media massa peliharaan Amerika di Indonesia terus mendorong-dorong Jokowi sebagai capres dengan dibantu gerakan intelijen kelompok Benny Moerdani membentuk PDIP ProJo/Seknas Jokowi untuk mendorong Megawati mencapreskan Jokowi.

Setelah Jokowi menjadi capres, para "pasukan bayangan" di belakang Jokowi mulai berani menampakan diri; CSIS melalui petinggi mereka, Jacob Oetoyo mengatur pertemuan Jokowi sebanyak dua kali dengan dubes Amerika dan Inggris, sekali di rumahnya; dan yang kedua kali di rumah makan mewah di Jakarta Pusat. Goenawan Mohamad dan Ayu Utami juga secara terbuka mendukung Jokowi, termasuk Tempo yang sengaja memasang foto palsu kebakaran besar di Jelambar seolah-olah adalah foto posko PDIP yang terbakar kecil (terbakar bukan dibakar).

Demikian pula dengan pasukan-pasukan ex Benny Moerdani yang pernah disingkirkan Prabowo karena mereka selama bertahun-tahun mencoba mendeislamisasi Indonesia juga sudah mulai terang-terangan menampakan diri dan secara terbuka menyatakan mendukung Jokowi, boneka Amerika itu. Para kelompok Benny Moerdani tersebut antara lain: Wiranto; Agum Gumelar-Hendropriyono; Sutiyoso; Luhut Panjaitan; dan masih banyak lagi.

Kesimpulan:

Dengan demikian adalah bohong bahwa Jokowi anak orang miskin; bohong Jokowi Jokowi lahir; tinggal dan pernah digusur tiga kali dari rumahnya di bantaran kali Pepe, Munggung; bohong Jokowi pernah menjadi kuli panggul atau ojek payung demi mencari uang sekolah. Logikanya bila ayah Jokowi pengusaha mebel sukses yang sangat kaya maka untuk apa ketika masih kecil Jokowi harus capek-capek bekerja mencari uang sekolah dengan menjadi ojek payung? Tidak masuk akal bualan Jokowi tersebut. Kebohongan Jokowi yang lain adalah ayah kandungnya tidak meninggal ketika dia masih di bawah umur.

Jokowi sudah masuk radar Amerika sejak tahun 2006 dan dipilih menjadi capres Indonesia oleh Amerika sejak Jokowi berhasil melaksanakan tugas melumpuhkan Abu Bakar Baasyir. Selama proses "pematangan" tersebut Jokowi dibina oleh Hendropriyono dan Luhut Panjaitan, dua-duanya adalah anggota kelompok Benny Moerdani dari CSIS, yang sangat dekat dengan Tempo dan Goenawan Mohamad.
Read More

Kala Kubu Jokowi Kehabisan Bahan Propaganda

Leave a Comment
Berric Dondarrion

Saya mulai menyadari bahwa Poros Jokowi-JK sudah kehabisan bahan kampanye untuk menunjukan bahwa mereka lebih baik daripada pasangan Prabowo-Hatta ketika membaca ucapan JK hari ini yang kurang lebih bahwa berbahaya bila pemimpin tidak mempunyai istri, yang merujuk pada kondisi Prabowo sebagai duda cerai yang belum beristri. Argumen semacam ini biasa terlontar di media sosial dan lebih bersifat ledekan dan hominem yang tidak memiliki nilai-nilai ilmiah sama sekali.

Mengapa pernyataan JK tersebut tidak ilmiah dan menunjukan mereka kehabisan bahan? Karena dalam ilmu kepemimpinan manapun tidak ada yang menghubungkan kemampuan memimpin dengan keberadaan pasangan hidup (suami atau istri), terbukti Ratu Elizabeth Tudor dari Inggris dipandang sebagai salah satu monarki terbaik yang pernah memimpin Inggris dan menghalau armada Spanyol yang jauh lebih besar padahal dia tidak pernah menikah. Saya kira JK pasti paham bahwa tidak ada hubungan antara pasangan hidup dengan kemampuan memimpin, dan bila sampai politisi yang berkaliber sepertinya melontarkan pernyataan absurd seperti itu untuk mendiskriditkan saingan, maka maaf saja karena saya harus menyimpulkan bahwa hal ini menunjukan kubu JK sedang panik.

Memang wajar mereka panik karena semua serangan kampanye hitam mereka ke kubu Prabowo, termasuk yang paling berat: isu HAM, tidak ada yang tembus, semuanya mental dan tidak mempan; sementar itu strategi mereka untuk melakukan Politik Dzalimi atau Lempar Batu Sembunyi Tangan yang biasa berhasil memancing dukungan dari rakyat sekarang hanya disambut oleh suara jangkrik di malam hari karena rakyat sudah tidak bisa ditipu lagi oleh pencitraan "sok lemah" dari Jokowi.

Selain itu bagaimana tidak panik? Karena semua serangan kubu Prabowo tepat sasaran dan efektif, sementara serangan balasan kubu Jokowi terhadap serangan tersebut sering blunder dan membuka luka yang tidak perlu, misalnya secara terbuka Prabowo dan Fadli Zon menyebut Jokowi sebagai capres boneka; dan Megawati malah menambahkan bahwa Jokowi hanya petugas partai yang ditugaskan menjadi capres sehingga tetap wajib menjalankan tugas dari partai dengan baik, sehingga terbuktilah Jokowi adalah boneka. Contoh kedua, Prabowo dan Fadli Zon menyebut Jokowi pembohong; dan Sabam Sirait malah membuka kebohongan Jokowi bahwa tidak ada syarat berkoalisi dengan PDIP ketika mengungkap mahar JK menjadi cawapres Jokowi adalah Rp. 10trilyun (dan kemungkinan JK memelihara tujul karena dari laporan keuangan JK ke KPK terungkap dia "hanya" memiliki Rp. 315miliar).

Selain itu bagaimana Jokowi dan JK dapat meyakinkan rakyat Indonesia bahwa mereka adalah pasangan terbaik demi bangsa bila faktanya JK sebagai cawapres Jokowi pernah mengatakan bahwa Jokowi menjadi presiden akan menghancurkan Indonesia dan membawa banyak masalah karena Jokowi tidak berkompeten menjadi presiden; sementara PDIP sebagai partai pengusung Jokowi pernah mengeluarkan kesimpulan bahwa pemerintahan SBY dan JK telah gagal dalam segala bidang termasuk gagal mensejahterakan rakyat dan gagal memberi keamanan kepada rakyat banyak.

Wujud kepanikan kubu JK dan Jokowi lain adalah fakta bahwa mereka begitu depresi untuk menarik dukungan baru sampai mereka berkali-kali mengklaim individu tertentu mendukung Jokowi dan beberapa saat kemudian si individu melakukan klarifikasi bahwa tidak benar mereka mendukung Jokowi, misalnya mereka mengklaim istri Ketua PBNU yang mendukung Prabowo, Said Aqil Siroj mendukung Jokowi, dan sore harinya sang istri memberi klarifikasi bahwa pernyataan tersebut tidak benar, lagipula sebagai istri tidak mungkin dia mendukung pasangan yang berbeda dari yang didukung suami; klaim kedua adalah bahwa Iwan Fals mendukung Jokowi, yang segera diklarifikasi oleh Iwan Fals bahwa hal tersebut tidak benar; dan klaim ketiga lebih keterlaluan, klaim bahwa Ketua PP Muhammadiyah memuji sholat Jokowi dan mendukung Jokowi menjadi presiden, yang akan dijelaskan di bawah ini.

Berdasarkan klarifikasi dari Din Syamsuddin terungkap manipulasi berita oleh media massa pendukung Jokowi antara lain Tempo; Detik; Media Indonesia dan Metro TV, antara lain: (1) bahwa tidak benar dia memuji bacaan Jokowi di Gedung PP Muhammadiyah sebab Sholat Dzuhur merupakan sholat yang dilakukan secara lirih jadi tidak mungkin bacaannya bisa dinilai karena tidak kedengeran; (2) bahwa tidak benar dia pernah mengatakan bacaan atau gerakan sholat Jokowi bagus; (3) secara khittah Muhammadiyah selalu netral namun mempersilakan anggotanya memilih berdasarkan preferensi masing-masing, dan (4) doa dari Din Syamsuddin agar Jokowi menjadi presiden bukan bentuk dukungan melainkan sekedar kewajiban seorang muslim mendoakan saudaranya mendapat kebaikan.

Di atas semua itu pengakuan Jokowi bahwa mereka kalah telak dalam pertempuran udara telah menandakan bahwa strategi dan materi mereka telah gagal total, sehingga hal ini bisa jadi merupakan salah satu alasan JK sampai menurunkan derajatnya sendiri sebagai mantan wapres RI dan mantan ketum Golkar dengan memainkan isu konyol seperti ketiadaan istri Prabowo akan membahayakan Indonesia.
Read More

Menolak Jokowi Mempolitisasi Agama Islam

Leave a Comment
Berric Dondarrion

Kita sudah sama-sama tahu bahwa strategi andalan kubu Jokowi adalah Politik Dizolimi dengan semua bentuk derivatifnya seperti Lempar Batu Sembunyi Tangan, seperti yang terjadi beberapa hari lalu dimana Posko PDIP di Setiabudi terbakar namun baik Jokowi; JK; tim sukses Jokowi segera mengeluarkan komentar bahwa Posko tersebut dibakar dan merupakan perbuatan biadab yang keji, dan walaupun tidak menyebut nama tapi tentu saja tudingan tersebut ditujukan kepada kubu Prabowo sebagai satu-satunya saingan Jokowi pada pilpres mendatang. Bahkan Tempo, milik Goenawan Mohamad, memasang foto kebakaran besar di Jelambar sebagai cover ulasan Posko PDIP yang terhitung kebakaran kecil.

Taktik lempar batu sembunyi tangan seperti ini memang tidak beretika dan tidak patut yang tidak mencerahkan kehidupan bangsa Indonesia dalam bermasyarakat, berbangsa, bernegara dan berpolitik, namun perbuatan Jokowi mempolitisasi agamanya demi meraih jabatan politik adalah perbuatan yang sudah sangat keterlaluan dan menjijikan. Perbuatan Jokowi mempolitisasi agamanya ini bahkan lebih menjijikan daripada perbuatannya memalsukan riwayat hidup dengan mengatakan dia lahir di bantara kali Pepe, Munggung, kemudian harus pindah rumah tiga kali karena digusur, padahal faktanya selain Jokowi tidak pernah tinggal di bantaran kali manapun, dia juga tidak pernah digusur sebab rumah orang tuga Jokowi ada di Jalan Ahmad Yani dan cukup mewah untuk ukuran tahun 1960an. Hal ini dikarenakan ayah kandungnya yang tidak pernah mati muda yaitu Noto Mihardjo alias Widjiatno adalah pengusaha mebel sukses yang memiliki banyak karyawan.

Bukti pertama Jokowi mempolitisasi agamanya adalah dengan melakukan kegiatan disinformasi tentang dirinya yaitu dia keturunan Tionghoa yang baru masuk agama Islam. Ini tentu tuduhan serius, dan saya tidak sembarang ngomong sebab fakta tidak terbantahkan adalah bahwa isu di atas pertama kali ditiupkan dan terus disebarkan oleh akun Twitter Triomacan2000 dengan admin bernama Raden Nuh, kader Hanura yang merupakan anggota koalisi yang mencalonkan Jokowi dan JK sebagai pasangan capres-cawapres. Benar, terbukti bahwa sumber isu ini adalah berasal dari dalam koalisi Jokowi sendiri!!

Bukti kedua bahwa politisasi agama Jokowi tidak datang dari Poros Prabowo adalah faktanya tidak pernah sekalipun kubu Prabowo menyerang keagamaan Jokowi atau lawan politiknya padahal kita tahu bahwa Poros Prabowo adalah kelompok yang berani menyerang Jokowi dan mengakui mereka pelakunya, seperti "serangan capres boneka dan pembohong" oleh Prabowo dan puisi-puisi sindiran dari Fadli Zon.

Bukti ketiga, berdasarkan kesaksian pendukung Jokowi, Ulin Yusron, Iklan RIP Jokowi yang mencantumkan nama "baptis" Jokowi yang sempat menghebohkan itu terbukti disebar pertama kali melalui facebook oleh simpatisan-simpatisan Jokowi.

Bukti keempat, di antara Poros Prabowo dan Poros JK, adalah Poros JK yang pertama kali secara terbuka menggunakan isu agama dan menyerang Poros Prabowo dengan isu tersebut, antara lain: (1) ketika mereka menyebar "kesaksian" Din Syamsuddin kala Jokowi menjadi imam shalat; (2) JK memposting foto Jokowi kala menjadi imam shalat; (3) JK melontarkan tantangan adu baca Alquran dan adu Sholat kepada Prabowo yang kemudian diamini oleh istri JK dan Jokowi (ini pilpres atau ujian masuk pesantren?); (4) Di depan peserta Rakernas NasDem, Jokowi mulai membuka pidato dengan bacaan Alquran dalam bahasa Arab, tindakn yang tidak pernah dilakukan sebelumnya dan kemudian timses Jokowi menyatakan di media sosial bahwa hal ini (membaca Alquran dalam bahasa Arab) tidak akan bisa dilakukan oleh Prabowo; dan (5) Pada pilpres tahun 2009 ada tuduhan dengan bukti kuat bahwa pelaku penyebaran selebaran gelap berisi isu istri SBY dan Budiono beragama Kristen yang menghebokan dilakukan oleh kubu JK.

Perilaku Jokowi yang mempolitisasi Islam dan membangga-banggakan kemampuan Jokowi mengulang hafalan dari ayat Alquran dalam bahasa Arab sangat menyedihkan, karena sesungguhnya fakta bahwa Jokowi bisa sholat dan bisa baca Alquran tidak istimewa karena memang kewajibannya sebagai umat Muslim. Kalau begitu apa yang harus dibanggakan?

Apalagi bila "kemampuan sholat dan menghafal bahasa Arab" dibandingkan dengan jasa Prabowo menyelamatkan umat Islam Indonesia dari cengkraman penjajahan kelompok Benny Moerdani dan CSIS di jaman ketika Jokowi masih disebut sebagai Mas Joko Klemer oleh teman-temannya karena tingkah laku Jokowi sedikit klemer-klemer (feminin) akibat pengaruh tinggal bersama tiga saudari kandung, jelas sekali jauh bedanya. Tentu saja perlu disebutkan juga bahwa sisa-sisa kelompok Benny Moerdani seperti Hendropriyono; Agum Gumelar; Wiranto; Luhut Panjaitan (anak emas Benny Moerdani); Sutiyoso dan lain-lain mendukung Jokowi demi melawan Prabowo (selengkapnya bisa dibaca di sini: http://m.kompasiana.com/post/read/658823/1/dalang-kerusuhan-mei-1998-mendukung-jokowi.html# ).

Selanjutnya tentu lucu kubu Jokowi membangga-banggakan kemampuan Jokowi mengulang ayat Alquran dalam bahasa Arab mengingat seperti istilahnya, itu hanya hafalan belaka tanpa kemampuan berbahasa Arab yang sesungguhnya. Sementara Jokowi hanya bisa menghafal bahasa Arab secara fonetik, Prabowo bisa berbahasa Arab dan belajar dari Raja Jordania, sebuah Negara Islam terkemuka, yang juga teman baiknya.

Mengenai keislaman saya harus menyimpulkan bahwa perilaku Jokowi adalah tong kosong nyaring bunyinya; sedangkan Prabowo mengamalkan ilmu padi, semakin berisi semakin menunduk, semakin banyak tahu justru semakin menyadari bahwa dia tidak tahu apa-apa.

Read More

Alasan Jokowi Kalah Telak dalam Perang Udara

Leave a Comment
Berric Dondarrion

Baru-baru ini Jokowi mengakui bahwa timsesnya termasuk Jasmev yang berhasil membawa dirinya memenangkan pemilihan Gubernur Jakarta kalah dalam perang udara sehingga dia akan meminta pasukannya mengintensifkan serangan darat. Pertanyaannya apakah pengakuan ini benar dan bukan sekedar pencitraan? Sebagai orang yang melawan pasukan Jokowi selama dua tahun terakhir melalui media sosial maka saya dapat memastikan pasukan udara Jokowi kalah telak; habis; musnah, tidak berkutik dan hancur.

Maaf bila terkesan sombong tapi selama dua tahun terakhir tidak ada satu akun di media sosial milik pasukan udara Jokowi maupun simpatisan Jokowi yang dapat menang dan mempertahankan posisi mereka, baik ketika mereka menyerang lawan melalui kampanye hitam atau membanggakan kehebatan Jokowi, maupun ketika mereka sedang bertahan dari serangan saya.
Mengapa mudah mengalahkan tim sukses Jokowi di media? Karena satu-satunya senjata yang digunakan oleh Jokowi dan pasukannya adalah kebohongan, baik kebohongan mengenai lawan atau kebohongan mengenai Jokowi sendiri sehingga untuk mengalahkan mereka tugas kita cukup gampang yaitu menggunakan kebenaran untuk mematahkan kebohongan tim Jokowi. Ketika kebenaran itu terungkap maka nasib Jokowi dan pasukannya sudah dapat ditentukan, kalah telak dan pulang kampung.

Nah, mengadu kebenaran vs. kebohongan jelas jauh lebih mudah ketika berhadapan di internet sebab semua informasi ada di internet dan tugas kita hanya mencari dan menggali informasi tersebut; dan percayalah pasti ada informasi yang mematahkan kebohongan Jokowi. Sekalipun kita tidak menemukan, namun karena di internet ada berbagai macam orang maka pasti akan muncul orang yang menyediakan informasi yang tidak kita ketahui, dan karena itu orang awam tidak tertipu tipu daya Jokowi.

Keuntungan dalam perang udara ini tentu tidak bisa ditemukan dalam "perang darat" sebab informasi yang ada selalu satu arah; dari tim sukses Jokowi, yang tentunya penuh tipu muslihat dan kebohongan. Itulah alasan Jokowi sangat mengandalkan media massa bayaran seperti Tempo; Media Indonesia; detik.com dan lain-lain yang kuat dalam melakukan propaganda disinformasi karena penerima informasi tidak dapat mendapat segera memperoleh informasi pembanding untuk menyanggah sehingga mereka akan menerima informasi secara bulat-bulat.

Demikian pula gerilya kampung ke kampung atau seminar seperti agen MLM mencari downline yang dilakukan tim Jokowi, orang yang diajak diskusi sulit mendapat informasi yng bertentangan dan mereka mau tidak mau akan menerima bulat-bulat apapun kebohongan yang disampaikan oleh tim sukses Jokowi.

Singkatnya tim Jokowi kuat bila kampanye dilakukan dengan cara yang tidak interaktif di mana pertukaran informasi berlangsung satu arah, hanya dari tim Jokowi saja karena mereka memiliki jagoan dalam kampanye propaganda dan disinformasi sedangkan mereka lemah bila pertukaran informasi terjadi dua arah dan interaktif seperti di media sosial. Kita bisa ambil contoh, bila di koran Jokowi dipuji-puji berhasil mengurus Jakarta maka pembaca akan cenderung setuju karena tidak ada data pembanding, sebaliknya di internet orang bisa dengan mudah menunjukan bahwa Jokowi gagal total di Jakarta, mulai dari KJS yang membunuh pasien miskin sampai MRT sampai Waduk Pluit yang terbelengkalai.
Read More

"Keturunan Cina", Politik Dizolimi Khas Jokowi

Leave a Comment
Berric Dondarrion

Baru-baru ini saya menerima sebuah gambar berisi informasi sekilas mengenai keterlibatan ayah Prabowo, Soemitro Djojohadikusumo dalam pemberontakan PRRI/Permesta dan "otak di belakang Pabowo" adalah Hashim Djojohadikusumo, saudara kandungnya dan pada bagian bawah gambar tersebut terdapat tagline yang kira-kira berbunyi: "Mereka menyebar kebohongan mengenai Jokowi; maka kami mengungkap kebenaran mengenai Prabowo." Reaksi saya terhadap gambar ini adalah tertawa penuh ironi karena tampaknya tim Jokowi tidak memahami sejarah Indonesia; dan menganggap "bila adik membantu kakak berarti kakak adalah boneka adik", tapi yang paling lucu adalah tagline di bawah gambar.

Saya tidak tahu pasti "kebohongan tentang Jokowi" mana yang disebar oleh "tim Prabowo", namun saya bisa menebak informasi mana yang mereka maksud, sebab informasi yang lama beredar di masyarakat ini adalah satu-satunya yang terbukti tidak benar, yaitu "Jokowi keturunan Tionghoa; tidak bisa sholat; dan tidak paham agama Islam." Sepanjang pelusuran saya, tidak ada satupun "serangan" dari pihak Prabowo-Hatta yang menyerang latar belakang suku dan agama dari Jokowi; bilapun mereka menyerang pribadi Jokowi maka hal tersebut dilakukan dengan menyebut Jokowi boneka dan pembohong, keduanya adalah fakta yang sebenarnya.

Lantas siapa yang pertama kali menyebar informasi "Jokowi Tionghoa yang tidak bisa Sholat"? Akun Twitter Triomacan2000/TM2000 yang dikomandani oleh Raden Nuh. Siapa Raden Nuh? Kader dan caleg dari Partai Hanura serta simpatisan Wiranto. Partai Hanura anggota koalisi siapa? Anggota koalisi yang mendukung pencalonan Jokowi dan JK sebagai pasangan capres-cawapres; dan Wiranto adalah mantan pasangan JK ketika maju pada pemilu tahun 2009 lalu. Dengan kata lain serangan berbau rasis dan agama terhadap Jokowi berasal dari anggota koalisinya sendiri, politik dizalimi/play victim? tentu saja, bukankah dengan "terbukti Jokowi difitnah soal agamanya" telah menempatkan dia sebagai korban dan meraih simpati beberapa kalangan Islam, terutama NU dan Muhammadiyah padahal serangan tersebut dimulai oleh Raden Nuh, tim suksesnya sendiri?

Lho, TM2000 mendukung Jokowi? Terus terang saya juga kaget dan tidak percaya ketika mendapat informasi ini dari sebuah kultweet dari akun bernama @bang_dw, dia mengatakan bahwa TM2000 adalah akun kampanye disinformasi milik Hendropriyono, murid Benny Moerdani dan intel kesayangan Megawati yang tugasnya adalah membuat berita sesering mungkin tentang Jokowi sehingga tanpa sadar nama ini menjadi sering menjadi topik pembicaraan masyarakat, dan pada kalangan pers mempunyai ungkapan "tidak ada berita jelek atau berita bagus dalam kegiatan pencitraan." Saat saya membaca kultweet akun @bang_dw, posisi Hanura adalah akan bergabung dengan koalisi Gerindra, namun dalam kultweet diungkap Hanura pasti akan bergabung dengan PDIP. Sekarang faktanya mana yang terbukti benar?

Dengan kata lain kata "mereka" pada tagline "Mereka menyebar kebohongan tentang Jokowi" sudah pasti harus diganti dengan kata "Anggota timses Jokowi", sehingga tagline berubah menjadi "Anggota tim sukses Jokowi menyebar kebohongan tentang Jokowi."

Sebagaimana sudah pernah terungkap, politik dizolimi, politik play victim, politik menyakiti diri sendiri guna meraih simpati masyarakat, politik menyalahkan semua kejadian yang buruk kepada lawan untuk meningkatkan popularitas, politik menempatkan diri sendiri dalam posisi lemah atau apapun namanya merupakan strategi utama dan strategi satu-satu dari PDIP, kelompok Jokowi, dan belakangan JK mengadopsi untuk kepentingan pemilu.

Kita akan mengambil dua contoh yang terjadi minggu lalu selain isu "sholat dan agama", ada dua kejadian: 1. Posko PDIP di Setiabudi kebakaran, dan timses Jokowi langsung mengatakan Posko dibakar (siapa lagi, pasti oleh kubu Prabowo kan?), ternyata polisi menemukan posko terbakar bukan dibakar (mirip kasus Jokowi mengaku akan dibunuh karena kapal yang akan ditumpangi "meledak" padahal terbakar karena konsleting listrik); dan 2. Kampanye mengumpulkan sumbangan masyarakat demi dana kampanye bagi Jokowi yang "miskin" (ini mengulangi kampanye Pilgub DKI), padahal menurut informasi Sabam Sirait, mahar JK menjadi cawapres saja Rp. 10trilyun, dapat dibayangkan berapa besar "dana perang" kubu Jokowi dengan ratusan konglomerat besar di belakangnya?

Politik penuh kemunafikan ala Jokowi dan tim suksesnya ini sangat membantu saya dari terpengaruh kampanye super masif kubu Jokowi tentang betapa hebatnya Jokowi, karena saya tahu informasi dari tim Jokowi penuh kebohongan dan kemunafikan, sehingga apapun isi "kebaikan" Jokowi yang menjadi materi kampanye, hal tersebut dapat dipastikan sebuah kebohongan, dan biasanya sekalipun saya tidak menemukan kebohongan tersebut sekarang, suatu hari kebohongan tersebut pasti terungkap.

Yang munafik bukan kubu Jokowi saja; tapi hampir semua petinggi di dalam timnya termasuk anggota koalisi, antara lain terbukti dari beberapa fakta berikut:

1. JK misalnya baru tahun lalu mengatakan Indonesia dipimpin Jokowi akan hancur dan Jokowi tidak layak jadi presiden, tapi hari ini JK malah membayar Rp. 10trilyun untuk menjadi cawapres Jokowi;

2. Baru-baru ini JK mengatakan jangan memilih pasangan dengan dosa masa lalu, tapi bukankah tahun 2009, JK berpasangan dengan Wiranto yang jelas-jelas bermasalah dengan HAM?;

3. Jokowi membuat perjanjian politik dengan korban Lapindo namun yang berperan untuk menguras APBN demi membantu kesalahan Lapindo adalah JK;

4. PDIP mengatakan kebijakan ekonomi selama 10 tahun pemerintahan SBY sudah gagal dan pertumbuhan ekonomi tidak sehat, kalau begitu termasuk JK yang merupakan wapres SBY dan pengelola ekonomi Indonesia dari tahun 2004-2009; dan

5. Ketika masih jadi anggota konvensi Demokrat, Anies Baswedan mengkritik blusukan Jokowi sebagai pencitraan, sekarang dia malah mendukung Jokowi yang dua tahun berturut-turut hanya pencitraan di Jakarta.

Nah, sekarang pilihan di tangan anda, mau capres munafik; pembohong; boneka; dan suka menyalahkan orang lain atau mau capres yang apa adanya, tanpa polesan dan bertanggung jawab atas perbuatan sendiri?

Read More

Dipecat ABRI, Prabowo Jangan Dipilih?

Leave a Comment
Berric Dondarrion

Menurut kalkulasi saya sudah mematahkan sekitar 90% kampanye hitam dari Poros JK kepada Poros Prabowo, sehingga hanya ada beberapa kampanye hitam lagi yang masih tersisa, dan salah satunya adalah Prabowo pernah dipecat dari TNI (dulu namanya ABRI) karena tuduhan terlibat "penculikan aktivis" sehingga akan menjadi sangat aneh bila dia terpilih menjadi Presiden Republik Indonesia yang berarti sekaligus menjabat sebagai Panglima Tertinggi TNI/Pangti TNI yang merupakan kejadian memalukan karena Pangti TNI adalah seorang purnawirawan yang pernah dipecat, atau kampanye hitam ini kadang dibuat dalam bentuk pernyataan: jangan pernah memilih capres yang pernah dipecat oleh ABRI.

Pemimpin utama serangan ini adalah Luhut Binsar Panjaitan, salah satu dari anggota kubu Benny Moerdani yang berhasil dibersihkan kubu Prabowo ketika mereka berhasil menarik Feisal Tandjung yang sudah lama diasingkan Benny Moerdani ke Seskoad menjadi Panglima ABRI. Alasan kubu Prabowo membersihkan kubu Benny Moerdani adalah karena mereka berusaha mendeislamisasi TNI dengan cara memarjinalkan para perwira yang Islami. Setelah disingkirkan para kelompok Benny Moerdani tersebut membalas dengan menjatuhkan karir dan kehidupan pribadi Prabowo sampai ke titik nadir (selengkapnya bisa dibaca di http://m.kompasiana.com/post/read/658823/1/dalang-kerusuhan-mei-1998-mendukung-jokowi.html# ).

Prabowo sukses menjatuhkan Benny Moerdani; dan Benny Moerdani berhasil membalas dengan menjatuhkan Prabowo ke titik nadir maka seharusnya bisa dianggap impas dan kubu Benny tidak mendendam lagi kan? Lantas mengapa Luhut Panjaitan masih menyimpan dendam kesumat sehingga di depan publik tidak sungkan menunjukan kebenciannya kepada Prabowo. Saya tidak tahu dan yang tahu hal tersebut hanya Luhut Panjaitan, namun saya menduga status Luhut Panjaitan sebagai anak emas Benny Moerdani memainkan peranan, karena dengan tersingkirnya Benny maka sekaligus semua fasilitas yang dinikmati Luhut sebagai anak emas ikut hilang, sebab semua yang dekat dengan Benny justru dianggap menderita lepra.

Bukti Luhut Binsar Panjaitan merupakan anak emas Benny Moerdani adalah sebagai berikut ini:

"Berbeda dengan panglima-panglima sebelum dan sesudahnya, Benny memang memelihara sejumlah orang yang disenanginya. "Mereka itu semacam golden boys Benny Moerdani," kata Schwarz. Salah satu yang dikenal sebagai "anak emas" itu adalah Luhut Binsar Panjaitan."

- Salim Said, Dari Gestapu Ke Reformasi, Serangkaian Kesaksian, halaman 343

Pertanyaannya di sini apakah pernyataan Luhut Binsar Panjaitan dapat dibenarkan? Tentu saja tidak sebab fakta tidak terbantahkan adalah sangat banyak pemimpin atau orang di belahan dunia yang dipecat dari institusi atau lembaga tempatnya bekerja atau bernaung untuk kemudian kembali memimpin lembaga yang sama beberapa tahun kemudian. Tidak jarang kemudian hari ditemukan bukti bahwa kesalahan bukan terletak pada orang atau pemimpin yang dipecat, melainkan terletak pada pihak yang mengeluarkan keputusan pemecatan. Untuk membuktikan hal ini kita akan mengambil masing-masing 3 tokoh dari Indonesia dan luar negeri.

Indonesia

Contoh pertama: Soeharto dicopot dari jabatan sebagai Panglima Diponegoro karena tuduhan melakukan penyelundupan gula secara ilegal di wilayahnya dan selanjutnya disekolahkan ke Seskoad. Beberapa tahun kemudian Soeharto diangkat menjadi Panglima Mandala untuk merebut Papua Barat yang antara lain membawahi mantan pasukannya dari Divisi Diponegoro. Dalam perjalanan selanjutnya Soeharto terpilih lima kali berturut-turut menjadi Presiden RI/Pangti TNI, yang artinya juga membawahi Divisi Diponegoro. Belakangan Yoga Soegama, staf intelijen Diponegoro pada zaman kepemimpinan Soeharto mengungkap bahwa yang melaporkan penyelundupan adalah Pranoto Reksosamudro, Wakil Panglima, dan seorang komunis yang berniat merebut Divisi Diponegoro untuk kubu komunis.

Contoh kedua: Yoga Soegama, salah satu bawahan Soeharto sejak zaman Diponegoro adalah kepala badan intelijen negara (BAKIN) dari tahun 1968 sampai 1969, mengapa hanya satu tahun? Karena Yoga dipecat setelah dia kehilangan tas berisi dokumen rahasia negara dalam salah satu lawatan keluar negeri yang katanya didalangi oleh Ali Moertopo. Setelah dipecat dari BAKIN, Yoga ditendang ke atas menjadi duta besar dan ditarik kembali setelah peristiwa Malari tahun 1974, berturut-turut sampai tahun 1989.

Contoh ketiga: AH Nasution yang dipecat Soekarno dari kedudukan sebagai Kepala Staf Angkatan Darat (KASAD) setelah dia mengarahkan meriam ke arah Istana Negara yang terdapat Soekarno dalam peristiwa 17 Oktober 1952. Beberapa tahun kemudian, tepatnya November 1955, Soekarno mengembalikan kedudukan Kasad kepada AH Nasution dan sebulan kemudian pada Desember 1955, Soekarno mengangkatnya sebagai Panglima Angkatan Perang Republik Indonesia yang artinya bukan saja membawahi angkatan darat, tetapi juga angkatan laut, angkatan udara dan kepolisian.

Luar negeri


Contoh pertama: George Walker Bush, adalah perwira angkatan udara Amerika Serikat yang dipecat karena desersi dari panggilan tugas, namun kemudian dua kali berturut-turut terpilih menjadi Presiden Amerika Serikat sekaligus Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata Amerika Serikat (Commander-in-Chief).

Contoh kedua, Steve Jobs, dipecat oleh John Sculley, CEO Apple, dan beberapa tahun kemudian Steve Jobs mendirikan Pixar dan NeXT, dan pada saat bersamaan John Sculley dipecat pemegang saham Apple karena membawa Apple ke jurang kebangkrutan. Di saat kritis tersebut para pemegang saham Apple memutuskan untuk meminta Steve Jobs kembali menangani Apple sebagai CEO. Sejak kembali ke Apple sampai kematiannya, Steve Jobs bukan saja menyelamatkan Apple dari kebangkrutan (yang sangat tidak mudah, tidak percaya? Tanya saja Blackberry dan Nokia), namun juga memberikan dunia: iPod; iPad; iPhone; Mac OS; Macbook; Macbook Air; Mac Mini; iMac; Android (bajakan Mac OS), dan inovasi lain yang mengubah dunia, sementara John Sculley dikenal sebagai orang inkompeten yang memecat Steve Jobs.

Contoh ketiga, Pada saat Mao Tsedong melancarkan Revolusi Budaya untuk membersihkan semua orang yang dianggap melawannya, Deng Xiaoping adalah termasuk orang yang dipaksa pensiun alias dipecat dari Partai Komunis China/PKC dan kemudian bersama keluarganya dibuang ke pedalaman Propinsi Jiangxi untuk bekerja sebagai buruh pabrik pembuatan traktor dan secara nasional nama baiknya dihancurkan. Setelah Zhou Enlai semakin melemah karena menderita kanker, Zhou berhasil membujuk Mao untuk menarik Deng kembali dan menunjuknya sebagai pengganti Zhou bila meninggal. Namun kemudian Deng kembali dipecat dari posisinya di pemerintahan dan nama baiknya dirusak secara nasional setelah dia melawan Gang Empat yang dipimpin oleh istri Mao, Jiang Qing. Deng Xiaoping baru bangkit kembali setelah kematian Mao Tsedong di mana dia berhasil menyingkirkan Gang Empat dan menjadi pemimpin tertinggi di PKC dan Republik Rakyat China/RRC. Hari ini Deng Xiaoping terkenal sebagai perancang sistem ekonomi yang berhasil membawa RRC sebagai satu-satunya negara di dunia dengan pertumbuhan ekonomi tertinggi di dunia dan hari ini ekonomi RRC hanya kalah dari Amerika Serikat dan diperkirakan akan menyusul kekuatan ekonomi Amerika dalam waktu tidak lama lagi.

Berdasarkan bukti di atas rasanya sudah terpatahkan klaim anak emas Benny Moerdani, Luhut Panjaitan bahwa Prabowo sebagai orang yang pernah dipecat ABRI tidak layak dipilih sebagai Presiden Indonesia karena alasan cacat moral atau alasan apapun, apalagi faktanya adalah pemecatan Prabowo tersebut semata-mata keputusan politik hasil konspirasi kelompok Benny Moerdani. Selain itu terbukti juga banyak orang yang kembali memimpin institusi setelah dipecat justru berhasil berprestasi dengan sangat luar biasa sebab dalam dirinya terbukti memiliki mental yang kuat hingga sanggup dari keterpurukan dan memiliki motivasi untuk menghapus aib dari pemecatan sebelumnya.
Read More

Jokowi, Bila Titisan Harmoko Nyapres

Leave a Comment
Berric Dondarrion

Ucapan Megawati bahwa Jokowi hanya petugas partai yang ditugaskan menjadi capres dan karena itu wajib menjalankan tugas partai; pengakuan Jokowi bahwa dia memang petugas partai; fakta bahwa Jokowi ingin Abraham Samad menjadi cawapres namun diveto Megawati karena dijanjikan mahar Rp. 10trilyun oleh JK serta fakta bahwa dalam semua hal Jokowi selalu mengatakan "Berdasarkan petunjuk Ibu Mega...." atau "nanti saya tanya Ibu Mega" membuat Jokowi disamakan dengan Harmoko, tokoh Orde Baru yang memiliki ucapan khas: "Sesuai petunjuk bapak presiden..". Disadari atau tidak memang Harmoko dan Jokowi memiliki banyak kesamaan yang akan dijelaskan berikut.

Secara kebetulan baik Harmoko dan Jokowi sama-sama berasal dari Solo; dan  secara kebetulan pula keduanya adalah politikus muda tidak terkenal dan sama-sama dikatrol ke panggung politik nasional dalam usia muda oleh purnawirawan jenderal yang sedang berkonspirasi untuk meraih keinginannya secara politik dengan memanfaatkan tokoh boneka tersebut. Bila Harmoko dikatrol oleh Pangkopkamtib Sumitro dari posisi Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Jakarta menjadi Ketua PWI Pusat kemudian menteri penerangan menggantikan Ali Moertopo untuk melawan Opsus pimpinan Ali Moertopo yang sedang menggarap PWI sehingga pecah menjadi dua pengurus, satu oleh Rosihan Anwar dan satu oleh BM Diah; maka Jokowi dikatrol oleh Luhut Binsar Panjaitan, anak emas Benny Moerdani (Adam Schwarz; Salim Said) untuk melawan Prabowo yang pernah membersihkan kelompok Benny Moerdani dari pusat kekuasaan Orde Baru dan mencegah tercapainya keinginan Benny Moerdani menjadi presiden Indonesia.

Bukti bahwa Luhut Binsar Panjaitan yang sekarang giat melawan pencapresan Prabowo sebenarnya anak emas Benny Moerdani adalah sebagai berikut:

"Berbeda dengan panglima-panglima sebelum dan sesudahnya, Benny memang memelihara sejumlah orang yang disenanginya. "Mereka itu semacam golden boys Benny Moerdani," kata Schwarz. Salah satu yang dikenal sebagai "anak emas" itu adalah Luhut Binsar Panjaitan."

- Salim Said, Dari Gestapu Ke Reformasi, Serangkaian Kesaksian, halaman 343

Dari segi karakter, baik Jokowi maupun Harmoko sama-sama berkarakter lemah dan selalu berusaha menjadi "anak baik" demi menyenangkan atasan, hal ini terbukti dari kalimat khas yang keluar dari mulut Harmoko ketika menjadi menteri penerangan adalah "Sesuai petunjuk Bapak Presiden..."; sedangkan kalimat khas dari mulut Jokowi adalah "Sesuai petunjuk Ibu Megawati...", atau dalam istilah yang lebih lugas, mereka adalah penjilat. Baik Harmoko maupun Jokowi memiliki ambisi yang besar, yang sebenarnya wajar, namun mereka tetap ingin menjaga nama seolah mereka adalah orang rendah hati dan tidak berambisi, misalnya Harmoko menjawab rumor akan terpilih menjadi menteri penerangan menjawab: "Ah, jabatan itu terlalu besar buat saya," demikian pula dengan Jokowi ketika ditanya mengenai wacana pencapresan selalu menjawab "Saya tidak berpikir menjadi presiden karena mau mengurus Jakarta."

Demikian pula Harmoko terkenal aktif blusukan ke pelosok-pelosok Indonesia dalam Safari Ramadhan khususnya menjelang kampanye Pemilu, demikian pula Jokowi terkenal aktif blusukan di Solo ketika dia mencalonkan diri sebagai walikota; blusukan keliling Jakarta demi memastikan PDIP akan mencalonkan dirinya sebagai capres; dan aktif blusukan ke pelosok-pelosok Indonesia sejak sebelum menjadi capres PDIP dan setelah menjadi capres menjelang kampanye pemilu.

Sebagai menteri Penerangan, Harmoko dikenal sebagai pencetus gerakan Kelompencapir (Kelompok pendengar, pembaca dan pemirsa) yang ia bentuk sebagai alat untuk menyebarkan informasi dari pemerintah kepada masyarakat di pedesaan. Ia pun aktif berkeliling ke pelosok-pelosok Nusantara dalam Safari Ramadhan, utamanya menjelang kampanye pemilu. Sebagai Ketua Umum Golkar, Harmoko dikenal pula sebagai penggagas Temu Kader.

Nah, ledekan Hari-hari Omong Kosong yang ditujukan kepada Harmoko juga cocok diberikan kepada Jokowi yang terkenal suka berbohong dan melempar janji tanpa niat ditepati, salah satunya tentang janji Jokowi tidak akan mencalonkan diri sebagai capres dan mau mengelola Jakarta selama lima tahun bersama Ahok yang kemudian dilanggarnya sendiri satu tahun tiga bulan kemudian janji ini dilanggarnya dengan alasan penuh omong kosong "Sebagai Presiden Indonesia saya akan bisa lebih mudah dalam membereskan masalah Jakarta", kenapa omong kosong? Karena dapat dipastikan ketika menjadi presiden dia akan beralasan "Saya Presiden Indonesia bukan Presiden Jakarta, urusan saya banyak bukan cuma Jakarta saja, itu Gubernur Jakarta kerja apa, kok saya saja yang diributin terus?" untuk melanggar janjinya mengelola Jakarta bila menjadi presiden.

Sama seperti Harmoko yang kenaikannya menjadi Ketua Partai Golkar pertama dari kalangan sipil yang menimbulkan kemarahan dari kelompok militer di Golkar pimpinan anak buah Benny Moerdani; sehingga ketika Benny melancarkan rencananya menimbulkan kerusuhan di Indonesia untuk menjatuhkan Presiden Soeharto, rumah keluarga Harmoko di Solo sengaja menjadi sasaran pembakaran (bila kerusuhan adalah aksi spontan warga maka mana mungkin warga biasa tahu alamat rumah Harmoko); demikian pula naiknya Jokowi bersama JK menjadi pasangan capres dan cawapres menimbulkan kemarahan kelompok Pro Megawati dan para pendiri PDIP seperti Sabam Sirait.

Nah, akhir karir Harmoko adalah dia menjadi brutus karena menghianati Presiden Soeharto yang berjasa menaikan karirnya hingga menjadi "dewa sakratul maut kaum pers" karena sebagai menteri penerangan di tangan Harmoko terdapat kekuasaan "membunuh pers" dengan mencabut SIUP-Pers dan dengan itu memaksa pers memberikan saham kepada Harmoko bila mau memperoleh SIUP-Pers; mengenai apakah Jokowi akan bernasib sama memang masih harus ditunggu, namun karakter Jokowi yang sering mencari celah menyelamatkan diri sendiri dengan mengorbankan orang lain memperlihatkan Jokowi memiliki potensi menjelma menjadi Harmoko si brutus kedua dengan menghianati Megawati dan Puan Maharani yang mana akhir-akhir ini santer terdengar keduanya sudah mulai tersingkir dari pusaran politik di PDIP yang ditandai dengan menghilangnya peran Puan dalam timses Jokowi dan ditunjuknya Tjahjo Kumolo, ex kader Partai Golkar menjadi ketua timses yang memegang semua uang dari para cukong yang sangat besar, jauh di atas Rp. 10trilyun yang merupakan mahar JK menjadi cawapres Jokowi.

Banyak orang berusaha mengkaitkan Jokowi sebagai titisan para tokoh besar seperti Soekarno; Arjuna; Sudirman; dan lain sebagainya, namun berdasarkan fakta di atas tampaknya Jokowi lebih mirip dengan Harmoko daripada tokoh-tokoh di atas.

Read More

Menyoal "WN Kehormatan" Prabowo Subianto

Leave a Comment
Berric Dondarrion

Sekarang saya mau menulis topik yang ringan-ringan saja yaitu mengenai pemberian gelar Warga Negara Kehormatan Yordania kepada capres Prabowo Soebianto yang beberapa hari terakhir menjadi perbincangan hangat di kalangan fanboi Jokowi yang beredar di media sosial. Umumnya mereka mengatakan karena Prabowo sudah menjadi Warga Negara Yordania maka dia tidak bisa lagi maju sebagai calon presiden Indonesia. Sekilas masuk akal, tapi aneh sekali karena pemberian gelar Warga Negara Kehormatan tersebut dibuat tahun 1999 namun tahun 2009 Prabowo malah diloloskan KPU untuk menjadi cawapres Megawati. Lucu yah, masak KPU melakukan kesalahan yang sangat fatal seperti itu?

Tapi sebenarnya KPU tidak salah karena Prabowo memang masih Warga Negara Indonesia kendati menerima gelar Warga Negara Kehormatan dari Yordania. Mengapa demikian? Karena seperti disebut Warga Negara Kehormatan adalah sebuah gelar kehormatan dan bukan merupakan status kewarganegaraan dalam arti sebenarnya. Warga Negara Kehormatan yang dalam bahasa inggrisnya diistilahkan sebagai Honorary Citizenship adalah sebuah gelar kehormatan yang diberikan sebuah negara kepada warga negara lain yang dianggap memberikan sumbangsih besar dalam bidang apapun kepada negara tersebut atau dunia dan dengan gelar ini sang penerima gelar diperbolehkan menetap di negara tersebut dengan mempertahankan kewarganegaraan asal tanpa batas waktu dan tanpa harus memiliki visa seolah seorang warga negara namun tanpa kewajiban warga negara misalnya membayar pajak penghasilan tahunan. Gelar ini hanya berlaku selama si penerima tinggal di negara pemberi dan ketika yang bersangkutan meninggalkan negara tersebut maka dia menggunakan paspor terbitan negara asal. Dengan demikian pemberian gelar Warga Negara Kehormatan tidak sama dengan naturalisasi atau proses mengganti kewarganegaraan.

Tentu saja di Indonesia bukan hanya Prabowo yang mendapat status Warga Negara Kehormatan, BJ Habibie sudah lama menerima gelar Warga Negara Kehormatan Jerman dan untuk itu dia bisa tinggal di Jerman tanpa terbebani visa selama yang dia mau namun tetap berstatus sebagai Warga Negara Indonesia; demikian pula dengan presiden kita sekarang, Susilo Bambang Yudhoyono alias SBY yang pada tanggal 23 Juni 2012 mendapat gelar Warga Kehormatan Kota Quito dari Presiden Ekuador Rafael Correa Delgado di Istana Carondelet, Ekuador, dan secara simbolis SBY juga menerima "kunci" kota Quioto dan pin burung perak yang merupakan simbol Kota Quito. Tentu kita tidak akan mengatakan SBY adalah Warga Negara Ekuador dan dengan demikian berhenti menjadi Presiden Indonesia sejak 26 Februari 2012 bukan?

Secara konsep angkatan bersenjata Indonesia juga memiliki apa yang disebut "Warga Kehormatan Korps" dan dalam hal ini Kasad; Kapolri; Kasau dianggap sebagai "Warga Kehormatan Marinir", jadi konsep "warga kehormatan" adalah sesuatu yang biasa saja sebenarnya, baik di Indonesia maupun di dunia. Beberapa warga negara luar yang menjadi warga kehormatan negara lain misalnya Winston Churchil adalah Warga Negara Kehormatan Amerika Serikat padahal dia Warga Negara Inggris; Angelina Jolie adalah Warga Negara Kehormatan Sarajevo dan Warga Negara Kehormatan Kamboja padahal dia Warga Negara Amerika; Malala Youfsafzai adalah Warga Negara Kehormatan Kanada padahal dia Warga Negara Afganistan bersama dengan Dalai Lama yang Warga Negara RRC dan Nelson Mandela yang Warga Negara Afrika Selatan, dan masih banyak lagi.

Mengapa masalah sepele seperti Warga Negara Kehormatan menjadi besar di kalangan fanboi Jokowi? Singkatnya karena mereka kebanyakan adalah katak dalam tempurung yang kurang pengetahuan, padahal logikanya bila memang Prabowo adalah bukan Warga Negara Indonesia maka dapat dipastikan media massa bayaran Jokowi seperti Media Indonesia; MetroTV; Jawa Pos; Tempo; The Jakarta Post dan lain-lain akan mengangkat isu ini. Yah, ini sekedar intermezzo saja, dan setidaknya saya jadi paham mengapa para fanboi Jokowi mudah termakan propaganda dan pencitraan Jokowi, sebab mereka kurang ilmu pengetahuan, kasihan juga sebenarnya.
Read More

Melawan Politisasi "Penculikan Aktivis" oleh Komnas HAM

Leave a Comment
Berric Dondarrion

Saya sudah ingin menulis artikel mengenai politisasi kasus "penculikan aktivis" oleh Komnas HAM selama beberapa waktu namun baru ketemu momen yang tepat dengan terbitnya berita di Kompas tanggal 23 Mei 2014 berisi ulasan terhadap pernyataan tertulis dari salah seorang komisioner Komnas HAM bernama Natalius Pigai yang kurang lebih menyampaikan bagaimana berdasarkan doktrin Nuremberg dan doktrin Hostis Humani Generis seorang pelaku pelanggaran HAM berat seperti Prabowo Soebianto yang merupakan "saksi pelaku penculikan aktivis" adalah musuh umat manusia yang dapat diadili di mana saja dan oleh negara mana saja di manapun dia berada karena tidak ada tempat perlindungan (safe haven) bagi pelaku tersebut dengan demikian terpilihnya Narendra Modi sebagai perdana menteri India yang diduga mendalangi kerusuhan rasial yang menewaskan 1.000 umat muslim dan berubahnya sikap Amerika tidak bisa jadi preseden bagi Prabowo. Wow, bagi orang awam pernyataan Komnas HAM ini sangat luar biasa menakutkan, sudah tidak ada harapan bagi Prabowo?

Namun maaf saja bagi yang mengerti sejarah dunia; hukum internasional privat; dan hukum internasional publik terutama hukum humaniter dan hak asasi manusia maka pernyataan komisioner Komnas HAM tersebut sungguh-sungguh sangat menyedihkan karena salah semua. Bagaimana bisa orang yang dipilih sebagai komisioner sebuah lembaga yang menerima tugas maha penting untuk mengawasi hak asasi manusia di Indonesia ternyata kualitas intelektual dan pemahamannya tentang doktrin hak asasi manusia serendah ini? Ini memprihatinkan saya. Apa yang salah dengan pernyataan komisioner yang terlalu menyedihkan untuk saya sebut namanya tersebut ?

Pertama, tuduhan pelanggaran HAM yang dilakukan Prabowo adalah "penculikan sembilan aktivis" yang semuanya sudah kembali dengan selamat dan empat di antaranya bahkan menjadi anggota partai Gerindra bentukan Prabowo. Darimana logikanya hingga komisioner tersebut sampai kepada kesimpulan bahwa kerusuhan yang menewaskan 1000 orang adalah pelanggaran HAM yang lebih ringan daripada "penculikan sembilan aktivis yang dilepas hidup-hidup"? Ini bukan pertanyaan retorik, saya sungguh ingin tahu doktrin HAM mana yang menyatakan "penculikan" yang "korban"nya kembali dengan selamat adalah pelanggaran HAM berat yang tidak patut ditolerir oleh negara manapun termasuk Amerika sementara pembunuhan 1000 orang bisa mendapat toleransi? Saya tidak tahu logika komisioner Komnas HAM ini kemana perginya?

Kedua, hostis humani generis yang merupakan bahasa latin dari istilah "musuh bagi umat manusia" tidak pernah, sekali lagi, tidak pernah bisa diterapkan ke dalam kasus yang dilakukan dalam wilayah suatu negara yang berdaulat, apalagi bila kasus tersebut dilakukan oleh aparatur negara seperti tuduhan kepada Prabowo. Mengapa demikian? Karena doktrin hostis humani generis lahir dari kebutuhan untuk mengisi kekosongan hukum laut internasional karena keberadaan bajak laut yang merampok kapal yang melintas laut internasional atau usaha penyelundupan budak yang beroperasi di laut internasional sehingga tidak dinaungi oleh yurisdiksi hukum nasional manapun, oleh karena itu para bajak laut tersebut dinyatakan sebagai "musuh semua umat manusia" yang bisa diburu di wilayah manapun dan negara manapun mereka berada. Pada perkembangannya doktrin ini diaplikasikan kepada kejahatan baru seperti terorisme internasional; atau kejahatan atas orang yang secara hukum internasional wajib dilindungi. Komisioner Komnas HAM tersebut perlu menjelaskan parameter mana yang terpenuhi sehingga doktrin hostis humani generis dapat diterapkan dalam kasus "penculikan aktivis". Saya kuatir bahwa komisioner Komnas HAM itu hanya sekedar melempar istilah latin sehingga orang akan langsung percaya tanpa memeriksa kebenaran pernyataan yang mencantumkan istilah latin tersebut, apalagi ada adagium tidak resmi bahwa orang yang bisa memasukan istilah latin pasti tidak mungkin salah kan?

Ketiga, terlepas kritik keras terhadap pengadilan Nuremberg seperti standar ganda karena pengeboman Dresden; Hiroshima; dan Nagasaki oleh sekutu tidak ikut diadili namun yang jelas doktrin Nuremberg hanya bisa diterapkan untuk kejahatan perang. Pertanyaannya, apakah Prabowo sedang memimpin pasukan berperang ketika dia "menculik aktivis"? Sekali lagi saya mempertanyakan logika berpikir seorang komisioner yang sangat memprihatinkan, memimpin lembaga negara penegakan HAM namun justru tidak mengerti HAM dan asal menyebut doktrin untuk memperkuat pernyataan sehingga terkesan ada dasar hukum.

Namun tentu saja apa yang dilakukan oleh Prabowo adalah bukan penculikan biasa sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana ("KUHP"), melainkan tindakan pengamanan yang dilakukan atas perintah Panglima ABRI Feisal Tandjung setelah mendapat informasi adanya sekelompok orang yang ingin menimbulkan kekacauan melalui tindakan terorisme dengan tujuan menghalangi berlangsungnya Sidang Umum MPR tahun 1998. Hal ini juga sudah diakui oleh Komnas HAM dalam dokumen hasil penyelidikan mereka yang diterbitkan tahun 2006, yang antara lain juga mengakui bahwa operasi pengamanan tersebut dilakukan oleh beberapa kesatuan militer, yang antara lain Kopassus, namun sembilan orang yang ditangkap Kopassus sudah dilepas hidup-hidup sementara yang masih belum kembali ditangkap pasukan lain. Di bawah ini adalah screen shot dari putusan Komnas HAM tersebut:

Isi kesimpulan Komnas HAM bahwa operasi Setan Gundul dilakukan oleh beberapa kesatuan juga dibenarkan oleh Andi Arief dalam wawancara dengan majalah D&R edisi 21 Maret 1998 s.d. 25 Juli 1998 yang mengatakan bahwa dia melihat sendiri "para penculiknya" bukan berasal dari satu kesatuan saja melainkan dari beberapa kesatuan yang memiliki standar operasi yang berbeda satu dengan yang lain dan dia melihat kemungkinan ada kesalahan prosedur dalam penangkapan dirinya sehingga "para penculik" tampak kebingungan sendiri. Ini adalah salah satu kutipan dari wawancara dengan Andi Arief tersebut:
"Kini, tujuh (awal pekan ini sudah 10) anggota Komando Pasukan Khusus (Kopassus) ditahan sebagai tersangka penculikan. Komentar Anda?

Saya melihat bahwa ini bukan cuma pekerjaan satu kesatuan. Saya tidak punya bukti materiil, hanya berdasar bentuk-bentuk interogasi penculik. Interogasinya mulai dari prinsip ideologi sampai ke prinsip organisasi. Saya melihat, ini kerja sistematis dan prosedural dalam pola standar militer (Angkatan Darat). Jadi, tidak fair kalau hanya menyalahkan satu kesatuan atas penculikan yang berlangsung sejak lama--Tanjungpriok, Aceh, Peristiwa 27 Juli, dan sebagainya. Tidak fair kalau hanya menyalahkan Prabowo. Betul ia terlibat, tapi tak mungkin sendiri. Ketika penculikan Pius dan Desmond, Prabowo masih Komandan Jenderal Kopassus. Ketika saya diculik, Komandan Jenderal Kopassus sudah lain, dan Pangabnya, Wiranto. Kalau ini pekerjaan oknum, tidak akan ada penculikan berikutnya."

Terlepas komisioner-komisioner Komnas HAM secara berkala akan mengalami pergantian adalah hal lain, namun semua komisioner baru tetap wajib tunduk pada hasil temuan komisioner lama kecuali dia berhasil menemukan bukti baru yang dapat menjadi dasar mengubah kesimpulan sebelumnya. Dalam kasus "penculikan aktivis" yang sebenarnya "penangkapan teroris" ini Komnas HAM sudah mengetahui peranan Prabowo hanya sampai melepas para aktivis yang ditangkap; namun bagaimana dengan pelaku lain seperti Panglima ABRI? petinggi ABRI? mengapa Komnas HAM tidak memanggil dan mempermasalahkan Wiranto yang merupakan Panglima ABRI pada saat "penculikan" berlangsung, tentunya tidak mungkin Wiranto tidak mengetahui bukan? Lalu bagaimana dengan AM Hendropriyono yang mana salah satu taksi milik perusahaannya (Herodesa) digunakan oleh "para penculik"ketika selama dua setengah bulan melakukan aksi pengintaian? Apakah karena Wiranto maupun Hendropriyono tidak mencalonkan diri sebagai presiden? Kalau begitu terbukti pernyataan komisioner tersebut adalah politisasi isu dan bukan bentuk keprihatinan terhadap kasus itu sendiri.

Bila Komnas HAM memang ingin menangani kasus ini secara profesional maka mereka harus memanggil juga orang-orang yang namanya tercantum dalam email yang ditemukan di lokasi ledakan Bom Tanah Tinggi, Tanah Abang, yang merupakan penyebab utama Panglima ABRI Faisal Tandjung melancarkan Operasi Setan Gundul untuk menangkap aktivis yang melakukan kegiatan terorisme, dan yang masih hidup sampai hari ini antara lain: Hendardi dari PBHI (orang yang baru-baru ini berkaok-kaok menolak Prabowo menjadi presiden); Megawati Soekarnoputri; Sofjan Wanandi; Jusuf Wanandi; Budiman Sejatmiko dan Indah Dita Sari dari PRD; kelompok ex Benny Moerdani (Hendropriyono; Agum Gumelar; Sutiyoso; Luhut Panjaitan; Sintong Panjaitan; dan lain sebagainya). Isi email yang ditemukan di Tanah Tinggi tersebut antara lain adalah sebagai berikut:

"Kawan-kawan yang baik! Dana yang diurus oleh Hendardi belum diterima, sehingga kita belum bisa bergerak. Kemarin saya dapat berita dari Alex bahwa Sofjan Wanandi dari Prasetya Mulya akan membantu kita dalam dana, di samping itu bantuan moril dari luar negeri akan diurus oleh Jusuf Wanandi dari CSIS. Jadi kita tidak perlu tergantung kepada dana yang diurus oleh Hendardi untuk gerakan kita selanjutnya."

Semua fakta di atas, khususnya pernyataan dari Andi Arief ternyata membenarkan semua pernyataan Prabowo dalam wawancara dengan Majalah Panji tanggal 27 Oktober 1999 bahwa terjadi kesalahan teknis di lapangan oleh Tim Mawar sebab perintah yang diberikan Prabowo setelah dia mendapat daftar nama dari atasannya adalah menyelidiki nama-nama tersebut dan bukan menculik atau membunuh, namun demikian sebagai komandan tanggung jawab atas kesalahan teknis oleh anak buah tersebut diambil alih oleh Prabowo. Di bawah ini adalah kutipannya:

"Soal surat Muladi kepada Komnas HAM. Anda sebenarnya diberhentikan karena kasus penculikan atau kerusuhan 13-14 Mei 1998?

Itulah yang saya bingung. Saya diperiksa oleh DKP beberapa kali. Mungkin tiga atau empat kali. Dan semua pertanyaan saya jawab. DKP itu kan khusus menyelidiki soal penculikan sembilan aktivis. Saya pribadi tidak suka menggunakan istilah penculikan karena itu kan kesalahan teknis di lapangan. Niat sebenarnya adalah mengamankan aktivis radikal agar tidak mengganggu rencana pelaksanaan SU MPR 1998. Bahwa kemudian anak buah saya menyekap lebih lama sehingga dikatakan menculik, itu saya anggap kesalahan teknis. Tanggung jawabnya saya ambil alih.

Di DKP apakah ditanyai soal pemberi perintah penculikan?

Tentu. Tapi perintah menculik tidak ada. Yang ada operasi intelijen untuk mengamankan aktivis radikal itu. Sebab saat itu kan sudah terjadi ancaman peledakan bom di mana-mana. Dalam DKP saya kemukakan bahwa perintah pengamanan itu tidak rahasia. Mereka, para jenderal yang memeriksa saya pun tahu. Itu dari atasan dan sejumlah instansi, termasuk Kodam dilibatkan.

Benarkah Anda mendapat daftar 28 orang yang harus `diamankan' dalam konteks SU MPR?

Wah, dari mana Anda tahu? Tapi saya memang terima satu daftar untuk diselidiki. Jadi, untuk diselidiki. Bukan untuk diculik.

...

Apakah nama 14 aktivis yang sampai kini belum ketahuan rimbanya ada di situ?
Saya lupa. Mungkin tidak. Itu daftar kan kalau saya tidak salah didapat dari rumah susun Tanah Tinggi. Jadi macam-macam nama orang ada di situ. Akan halnya enam aktivis, Andi Arief dkk., itu ada dalam daftar pencarian orang (DPO), yang diberikan polisi. Yang tiga, Pius Lustrilanang, Desmond J. Mahesa, dan Haryanto Taslam, itu kecelakaan. Saya tak pernah perintahkan untuk menangkap mereka. Semua mencari mereka yang ada dalam DPO itu. Kita dapat brifing terus dari Mabes ABRI. Kita selalu ditanyai. Sudah dapat belum Andi Arief. Tiap hari ditanya. Sudah dapat belum si ini... begitu. Kejar-kejaran semua. Itu pun, maaf ya, meski saya tanggung jawab, saya tanya anak-anak. Eh, kalian saya perintahkan nggak? BKO sampai nyebrang ke Lampung segala.

Mereka ini namanya mau mencari prestasi. Tapi saya puji waktu mereka dapat. Mereka kan membantu polisi yang terus mencari-cari anak-anak itu. Soalnya Andi Arief kan dikejar-kejar.Selain Anda, siapa lagi yang menerima daftar itu dari Pak Harto? Apakah betul Kasad Jenderal Wiranto dan pangab saat itu, Jenderal Feisal Tanjung menerima daftar serupa?

Yang bisa saya pastikan, saya bukan satu-satunya panglima yang menerima daftar itu. Pimpinan ABRI lainnya juga menerima. Dan daftar itu memang sifatnya untuk diselidiki. Perintahnya begitu. Seingat saya, Pak Harto sendiri sudah mengakui kepada sejumlah menteri bahwa itu adalah operasi intelijen. Di kalangan ABRI, sudah jadi pengetahuan umum. Tapi, sudahlah, kalau bicara Pak Harto saya sulit. Apalagi saya tak mau memecah-belah lembaga yang saya cintai, yakni ABRI, khususnya TNI.

...

Kenapa akhirnya Anda mengambil tanggung jawab penculikan sembilan aktivis?
Di situ saya merasa agak dicurangi dan diperlakukan tidak adil. Mengamankan enam orang ini kan suatu keberhasilan. Wong orang mau melakukan aksi pengeboman, kita mencegahnya. Mereka merakit 40 bom. Kita mendapatkan 18, ada 22 bom yang masih beredar di masyarakat. Katanya yang 22 itu sudah dibawa ke Banyuwangi. Bom yang meledak di rusun Tanah Tinggi dan di Demak, Jawa Tengah itu kan karena anak-anak itu, para aktivis, nggak begitu ahli merakit bom. Jadi, kurang hati-hati, salah sentuh, meledak. Di Kopassus pun tidak sembarang orang bisa merakit bom. Tidak semua orang bisa. Ini ada spesialisasinya. Saya tidak bisa bikin bom. Jadi kita ini mencegah peledakan bom di tempat-tempat strategis dan pembakaran terminal. Kita harusnya dapat ucapan terima kasih karena melindungi hak asasi masyarakat yang terancam peledakan itu. Soal tiga orang, memang kesalahan. Saya minta maaf pada Haryanto Taslam dan yang lain. Tapi dia juga akhirnya terima kasih. Untung yang menangkap saya. Kan hidup semua. Saya mau bertemu mereka."

Secara pribadi saya mendukung penuh setiap usaha mengungkap pelanggaran HAM atau kejahatan di masa lalu baik pada masa Orde Lama; Orde Baru atau Reformasi namun saya menolak keras bila ada pihak-pihak yang mencoba melakukan politisasi terhadap korban pelanggaran HAM dan kasus HAM tertentu sebab dengan mempolitisasi penderitaan maupun kematian mereka, maka sama saja dalam kubur sekalipun HAM para korban telah kembali dilanggar; mereka kembali dibunuh; diperkosa; dijarah; dan disembelih. Kita bisa sedikit maklum bila politisasi tersebut dilakukan oleh NGO/LSM Indonesia yang digaji negara asing seperti Kontras; LBH Jakarta; Elsam; AJI; YLBHI; PBHI dan lain-lain, namun kita tidak boleh menerima bila politisasi dilakukan oleh lembaga negara resmi seperti Komnas HAM. Memang komisioner Komnas HAM dipilih oleh DPR dari berbagai elemen masyarakat, tapi hal itu bukan alasan untuk para komisioner boleh berperilaku tidak layak seolah mereka LSM yang digaji negara asing atau mereka adalah politisi. Selama mereka menjadi komisioner Komnas HAM maka mereka harus menunjukan standar etika yang tinggi supaya tidak mempermalukan nama lembaga tempat mereka bekerja, oleh karena itu perbuatan mempolitisasi suatu kejadian atau peristiwa maupun rebutan mobil antar komisioner tidak boleh sampai terulang lagi karena sangat memalukan!!

Read More
Diberdayakan oleh Blogger.